Chapter 17

2.4K 157 0
                                    

Justin's Point of View

Aku menarik napas, menjilat bibir bawahku, kemudian tanpa bisa kusadari, sebuah kalimat yang tidak pernah keluar dari celah bibirku sebelumnya terlontar begitu saja. "I'm sorry." Aku berbisik perlahan, yang membuatnya terdiam sambil mengangkat salah satu alis tebalnya yang indah. Sebuah pertanyaan, bercampur keterkejutan dan ketidakpercayaan terbersit selama sejenak dalam sepasang iris matanya yang sewarna kulit pohon plum. Dia terdiam, membuatku berdecak dan aku menjauh darinya sambil meraih kausku yang telah dipenuhi rembesan darah. Aku akan pulang, dan kaus penuh darah ini akan lebih baik daripada aku tidak memakai pakaian sama sekali. Meskipun aku adalah seorang berandalan yang seharusnya tidak bersikap cengeng, aku tahu angin malam akan bisa membuat denyutan sakit di sekujur tubuhku bertambah, dan aku tidak suka itu.

"Don't." Dia berbisik ketika aku baru hendak mengenakan kaus tersebut.

Aku mengernyit, menatapnya. "Did you say anything, babe?" Dan untuk kali kedua, dia tidak bereaksi apapun atas panggilan 'babe' yang baru saja kukatakan. Apa ini? Apakah dia mulai terbiasa akan panggilan itu? Well, seperti yang kukatakan, dia hanya punya dua pilihan. Apakah dia ingin dipanggil dengan sebutan 'babe' atau 'bicth'. Namun kalau boleh jujur, hanya dia yang kuberi keistimewaan seperti itu. Aku hanya memanggil 'babe' pada Kyle dan Wanda. Untuk perempuan sejenis Megan dan Selena, well, bahkan memanggil mereka dengan sebutan 'bitch' saja merupakan hal yang terlalu baik buat mereka. Mereka adalah mega bitch. Selena dan Megan punya mulut cerewet yang tidak bisa diam ketika mereka melihatku dengan gadis lain, seakan-akan mereka sudah menjadi kekasihku yang resmi. Padahal kenyataannya? Truth be told, they're cunts.

"Jangan pakai kaus yang itu." katanya, dengan nada hati-hati. Oh ya, dia pasti bersikap defensif akibat kemarahan yang baru saja kutunjukkan padanya. Itu wajar. Aku sama sekali tidak bisa mengontrol diriku sendiri ketika aku marah, dan saat aku marah aku tidak akan bisa memilah kata-kataku. Jika aku marah pada Jason, Dean, Ride atau Robert, mereka akan melupakannya dengan cepat karena mereka memahami sifatku.

"Lantas apa yang harus kupakai? Atasan Shopie Martin-mu itu? Kenapa tidak sekalian kau suruh aku mengenakan Loboutine dan sling bag Celine?"

"Hey." Dia berseru kesal. "Don't start."

"I'm not trying to play any games, darling. I'm serious."

"Yeah, so am I." Dia mengernyit. "Kau bisa memakai sweater kakek-ku. Tunggu sebentar disini." Lalu tanpa menunggu aku menyela, dia langsung melangkah keluar kamar, menuruni tangga dengan cepat sampai akhirnya aku mendengar bunyi gedebug yang keras disusul teriakan.

"I'm fine!" dia berseru keras. "I'm fine, Justin. Just stay there, please!" Aku memutar bola mataku sambil menghembuskan napas. Dia pasti baru terbentur atau menabrak sesuatu. Clumsy girl. Semenit kemudian dia kembali ke kamar dengan sebuah sweater jelek berwarna biru gelap. Dari motif rajutannya, kelihatan sekali itu sweater kakek-kakek.

"Geez." Aku bergumam, yang menyebabkan Samantha memicingkan mata sambil menatap padaku dengan pandangan mencela.

"Aku sudah bilang ini punya kakekku." Katanya galak. "Sekarang pakai saja. Aku berani bertaruh kau tidak mau pulang ke rumah dengan kaus yang telah lengket oleh darah seperti itu." Aku memilih menurut, lelah bertengkar dengannya dan khawatir suasana akan berubah tidak nyaman diantara kami, seperti yang sebelumnya telah terjadi.

"Dimana kakekmu?" Aku bertanya begitu aku telah selesai mengenakan sweater ini. Tidak buruk, dan bahan rajutan sweater yang lembut terasa memeluk bahu dan bagian atas tubuhku dengan nyaman. Rasanya kondisiku jauh lebih baik.

Shopaholic (by Renita Nozaria)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang