Samantha's Point of View
Aku melenguh sembari mengembalikan gaun kelabu yang terakhir kucoba ke gantungan pakaian yang berderet di sepanjang ruangan ini. Sialan. Kenapa aku harus memiliki pacar yang begitu cerewet? Apakah ini sungguh-sungguh menjadi masalah baginya? Bukankah seorang pervert seperti dia seharusnya menyukai model gaun yang terbuka—maksudku rata-rata pria yang menyukai keindahan wanita tentu akan senang dengan gadis yang mengenakan gaun yang terbuka bukan? Tangan mereka akan dengan mudah menempel di bagian kulit yang tidak terbaluti kain. Astaga. Begitu memikirkan hal ini pipi dan leherku terasa begitu memanas karena malu. Samantha, apa yang baru saja kau pikirkan?
Lantas apa lagi sekarang? Dengan frustasi, kedua tanganku kembali memilah-milah pakaian yang tergantung disana sembari memperhatikan detil gaun satu persatu. Ada gaun ungu lembut yang tampak misterius dan indah, namun belahan dada gaun itu terlalu rendah. Justin akan langsung menolak gaun ini kurang dari sedetik setelah dia melihatku mengenakannya. Yang hitam tampak bagus, namun memiliki aksen terbuka di bagian punggung. Ah, bukankah sekarang aku tengah memilih gaun untuk kukenakan ke pesta dansa tahunan sekolah? Mengapa rasanya aku seperti tengah memilih pakaian guna kukenakan ke acara arisan keluarga dimana seluruh anggota keluarga besar berkumpul? Aku mengerutkan kening sambil mengacak satu persatu gantungan gaun yang ada ketika mataku tertumbuk pada sebuah gantungan dimana sebuah gaun putih sifon yang lembut melekat disana. Dahiku berkernyit selama beberapa saat sebelum akhirnya tanpa pikir panjang aku meraih gantungan tersebut dan membawanya ke kamar pas.
Hanya perlu kurang dari sepuluh menit bagiku untuk berganti pakaian dan menyadari bahwa gaun itu tampak bagus untuk tubuhku. Aku hanya perlu menambahkan sebuah aksesoris dengan aksen dan detil yang mewah—dan voila! Aku akan bisa tampil menakjubkan dengan gaun ini. Tanpa sadar sebuah senyuman lebar merekah di wajahku ketika aku menatap pantulan diriku sendiri di cermin kamar pas. Great. Setelah merasa bahwa aku sudah tampak bagus dengan gaun ini, aku melangkah dengan terburu ke tempat Justin menunggu. Sialan. Dia bahkan masih sibuk memainkan ponselnya ketika aku memasuki ruangan dan tetap tidak mengangkat wajahnya untuk dua menit berikutnya. Aku menghembuskan napas. Apakah dia setuli itu untuk bisa menyadari bahwa aku baru saja memasuki ruangan tempat dia berada sekarang.
Aku berdehem, "Bagaimana dengan ini?
Dan seperti slow motion yang membuat perutku mual, Justin mengangkat wajahnya. Keningku berkerut dan matanya menyipit, meneliti detil dari bagian atas gaun itu. "Apakah kau tidak berpikir bahwa gaun itu terlalu... terbuka di bagian... kau tahu?" Justin meletakkan salah satu dari telapak tangannya di depan dada.
"Aku suka gaun ini." Aku berkilah. "Gaun ini tampak bagus di tubuhku."
"Oh boo, kau harus tahu bahwa gaun apapun selalu tampak bagus di tubuhmu." Justin menyela dan tatapan matanya melembut ketika dia memandang ke dalam kedua iris mataku. "Hanya saja, itu bagian pribadi. Aku tidak ingin pria lain memandang bagian itu."
"Mereka tidak akan melihatnya." Aku mendengus, membantah kata-katanya.
"Oh jangan konyol!" Justin menghembuskan napas sambil berpura-pura tertawa mengejek. "Aku tahu seperti apa pria karena aku juga pria, baby."
"Oh ayolah Justin! Jangan kuno begitu!" Aku berkacak pinggang. "Jika kau tidak ingin aku tampil terbuka, sebaiknya kita pergi ke toko barang-barang bekas atau toko alat pertanian dan kau bisa memilihkan karung untuk kukenakan ke pesta dansa!" Aku memutar bola mataku.
"Aku hanya tidak ingin pria lain melihatmu."
"Benarkah? Kenapa?"
"Karena kau adalah milikku."