***
Tiga gadis berambut cokelat panjang itu berjalan beriringan di atas trotoar sebelum gerakan kaki jenjang ketiganya berhenti tepat di depan sebuah café yang berada tidak jauh dari tempat dimana acara meet and greet aktor Shia LaBeouf diselenggarakan, acara yang telah selesai sekitar sejam yang lalu. Samantha mengerutkan kening, mengamati café itu dengan pandangan mata menyelidik dan kemudian memutar badannya untuk menghadapi Levina dan Melanie yang sama-sama mengerutkan kening sambil menelaah penampilan dan suasana café tersebut. Tentu saja mereka bertiga akan butuh berhenti di café. Sekarang hampir petang, dan sebentar lagi hari gelap. Mereka hanya punya pilihan makan malam di luar—seperti di café atau bistro—karena mereka akan terlampau lelah ketika tiba di rumah nanti. Hanya saja, mereka tidak yakin apakah makanan yang dijual café ini memiliki rasa yang enak atau tidak, karena bisa dibilang baik Samantha maupun Levina dan Melanie tidak pernah sekalipun mengunjungi café yang berada di kawasan Central Polis.
"Bagaimana sebaiknya?" Samantha meminta pendapat dua gadis yang duduk di hadapannya. Levina memiringkan kepalanya sembari mengeratkan genggaman jari-jarinya pada goody bag yang mereka dapatkan di acara meet and greet aktor Transformers tampan yang sebelumnya telah mereka hadir. Wajahnya kelihatan lelah ketika dia membalas kata-kata Samantha.
"Kupikir tidak ada buruknya. Setidaknya mereka punya roti panggang atau seporsi bagel dengan krim keju. Tidak buruk." jawab Levina. Melanie mengangguk, setuju dengan kata-kata yang baru saja dilontarkan Levina, yang membuat Samantha memberikan anggukan sebagai reaksi.
"Alright, here we go," ujar gadis itu sembari melenggang masuk ke dalam café, diikuti oleh Melanie dan Levina di belakangnya. Suasana café itu tidak buruk, malah bisa dibilang lumayan bagus. Ruangan café didominasi oleh warna hijau lembut yang tampak alami, dan tiap-tiap pilarnya di cat cokelat sewarna barisan pinus di kiri kanan jalan protokol kota New York. Batang pilar-pilar besar itu dipercantik dengan semacam sulur berbunga putih sintetis yang melitit batang cokelat besarnya. Meja-meja dilapisi taplak hijau gelap bersulam kelopak bunga yang sangat Samantha kenal. Kelopak bunga melati. Dia jarang melihat bunga melati yang tumbuh di kota beriklim sub-tropis seperti New York yang merupakan bagian dari benua Amerika. Namun dia pernah pergi berkemah bersama kakeknya dan Sharon bertahun-tahun belakangan ke negeri beriklim tropis dan melihat bunga melati secara langsung disana. Bunga itu mungkin rapuh, namun memiliki aroma yang begitu harum. Bunga melati selalu mengingatkan Samantha pada bayang-bayang samar masa kecilnya ketika dia masih berada di panti asuhan. Mengingatkannya pada seseorang yang tidak dia ingat namanya.
"Bukankah hari ini menyenangkan, Sam?" Levina berkata begitu sambil tertawa lebar begitu mereka bertiga sudah menghempaskan tubuh di atas permukaan bangku bercat cokelat gelap yang berpasangan dengan meja berlapis taplak hijau kelam bersulam kelopak bunga melati. "Kita mendapatkan foto bersama Shia, tanda tangannya, dan goody bag berisi suvenir juga tiket pada pemutaran perdana film aksi terbarunya. Ah, dia memang sangat keren!" ujar gadis berambut cokelat panjang itu lagi. Samantha hanya membalas kata-kata Levina dengan sebuah senyuman tipis sambil menghembuskan napasnya dengan gerakan yang tidak kentara. Entah bagaimana dia merasa ada yang aneh dengan hari ini. Rasanya seperti dia berubah jadi lebih melankolis. Dia merasa merindukan Justin—astaga, benar-benar aneh mengingat dia tinggal di satu atap yang sama dengan Justin—dan Sharon. Sudah hampir tiga minggu ini Sharon pergi dari New York ke Fort Summer. Mungkin Sharon memang begitu sibuk menjelajah daerah asal tradisi dan mitos koboy Amerika itu hingga lupa menghubunginya. Ah konyol. Lagipula, bukankah Sharon akan pulang seminggu lagi?
"Aku akan... memesan... hot moccacino. Bagaimana dengan kalian?" Melanie berbicara dengan mata tertuju pada lembaran buku menu. Levina menerawang ke langit-langit tinggi café, berpikir mengenai apa yang akan dia pesan dan hanya dalam hitungan sepersekian detik, gadis itu menjentikkan kedua jari tangannya yang lentik.