Samantha's Point of View
Aku menarik napas tepat ketika Justin menghentikan Range Rover-nya tepat di depan rumahku. Sialan, dia bersikeras datang ke rumahku dan membantuku untuk berkemas-kemas. Err... aku memang setuju untuk tinggal di tempatnya, karena bagaimanapun, tinggal di rumah yang ramai akan jauh lebih menyenangkan ketimbang tinggal di rumah yang sepi—terlebih lagi aku seringkali merasa takut untuk pergi ke kamar mandi di tengah malam karena pengaruh seri film horror Paranormal Activity, namun, membiarkannya membantuku berkemas-kemas? Itu sama saja aku mengizinkannya memegang seluruh jenis pakaian dalam yang kumiliki, dan aku tahu benar apa yang berada di pikiran pria berotak mesum seperti dia.
"You stay here, don't ya?" Aku menoleh padanya, menatap tepat ke matanya dan kelopak matanya langsung melebar, menampilkan iris mata cokelat madunya yang dihiasi pendar keheranan.
"Obviously not, babe." Dia memicingkan matanya padaku. "Aku akan membantumu berkemas. Kupikir kau akan butuh sedikit bantuan ekstra ketika mengemasi barang-barangmu yang sangat banyak itu. Aku berani bertaruh kau akan memenuhi tiga koper sekaligus dengan setelan-setelan dan sepatumu. Aku benar kan?"
Wajahku merah padam, merasa malu karena tebakannya yang tepat sasaran. Entah mengapa, caranya bicara membuatku merasa seperti wanita paling merepotkan di dunia. "Aku tidak mau kau membantuku. Jadi, kau tidak akan membantuku berkemas, atau..."
"Whoa, kau mengancamku?" sebuah kerutan samar muncul diantara kedua alisnya. "Ini jelas sejarah. Biasanya, siapapun yang berani mengancamku minimalnya akan mendapatkan sebuah tinjuan tangan dariku."
"Yang benar saja." Aku mengerang sambil memutar kedua bola mataku.
"Nah, babe, don't be a slut. You just rolled your eyes."
"Semakin banyak alasan untuk menghukumku, begitukah Mr. Bieber?" Aku menyahut dengan muram sambil memandang kepadanya.
"Tidak." Dia mendesah, lalu tatapan matanya yang terarah padaku berubah melembut, "Aku tidak akan pernah menyakitimu meskipun aku sangat menginginkannya, Boo."
"Kenapa?"
"Apakah ada yang salah dengan otakmu?" Justin berdecak. "Aku menyayangimu. Aku terlalu menyayangimu."
"Dan karenanya kau selalu bersikap menyebalkan sepanjang waktu? Ok. I got it." Aku mendengus.
"Kau lah yang selalu mendebatku." Justin menatapku dengan mata memicing. "Berhenti mendebatku, tak bisakah babe?"
"Aku bukan anggota geng-mu, Justin. Aku juga bukan seperti perempuan-perempuan jalang yang kau gunakan untuk memuaskan nafsumu. Aku tidak janji aku bisa menurutimu."
"Aku tahu itu, baby girl." Desis Justin, kemudian dia mengulurkan jemarinya menyentuh helaian rambut cokelat gelap yang jatuh di bahuku. "Kau tidak perlu menurutiku, tapi bisakah kau tidak bersikap sulit?"
"Aku hanya ingin berkemas tanpa bantuanmu."
Justin melenguh. "You got it, Boo."
Aku tersenyum lebar, kemudian menangkap jemari Justin yang masih mengacak helaian rambut di bahu kananku dengan tangan kiriku. Jemariku menangkup tangannya selama beberapa saat, kemudian meletakkan kembali tangannya di atas pahanya, memisahkan jari-jarinya dari helaian rambutku. "Aku akan segera kembali."
"Ok." Justin mengangkat kedua alisnya, dan aku membalas tingkahnya dengan sebuah senyuman kecil sebelum akhirnya mendorong pintu Range Rovernya hingga terbuka, lantas turun dari mobilnya dan berjalan menuju rumahku. Suasana rumahku kelihatan lengang, dan terus terang saja itu terasa seperti anugerah sekaligus bencana. Tanpa Sharon, aku bisa merasakan kupingku dingin karena tidak harus mendengar ocehan-ocehan tidak pentingnya, namun tanpa Sharon juga, kondisi rumah terasa begitu sepi dan menyeramkan. Ok, ini salahku karena aku menghabiskan akhir pekan kemarin menonton seri Paranormal Activity dan Shutter Island. Seharusnya aku menonton Dora agar aku tidakperlu takut berada di rumahku sendiri.