Samantha's Point of View
Tidurku terasa begitu panjang dan lama, dan ketika aku terbangun, aku menyadari bahwa siang yang cerah di luar jendela telah berubah menjadi petang dengan langit yang telah diwarnai oleh semburat cahaya oranye. Aku mengernyit sembari bangkit dari ranjang dan menyentuh kepalaku. Baiklah, tampaknya kondisiku sudah jauh lebih baik. Aku tidak lagi merasakan tekanan berat pada kedua bahuku, ataupun perasaan tidak enak di bawah mataku. Aku memiringkan kepalaku sembari menggeser posisi kakiku di atas ranjang, baru mulai mencoba untuk turun dari tempat tidur ketika sebuah kenyataan menghantamku dengan telak.
Justin tidak ada disini.
Justin tidak ada disini! Aku menggigit bibirku dan dapat merasakan jantungku berdegup dua kali lebih cepat dari biasanya. Mataku menatap ke sekeliling kamar, lantas menusuk pada pintu, berharap bahwa Justin akan muncul dalam hitungan detik dengan senyum lebar di wajahnya, atau titik-titik air di rambutnya yang menandakan dia hanya pergi dari sisi tempat tidurku untuk mandi, atau roti bagel dan krim keju di tangannya yang menandakan dia hanya pergi dari sisi tempat tidurku untuk mengambil makanan di dapur. Atau segelas air. Atau tanpa apapun, asal dia segera muncul di hadapanku sekarang. Aku menggigit bibirku jauh lebih keras sekarang, membiarkan gigiku terbenam di bibir bawahku.
Namun Justin tidak juga muncul. Pintu cokelat itu tetap tertutup dengan rapat, dan kenopnya pun bahkan tidak bergerak sedikitpun. Aku mendengus, bangkit sepenuhnya dari ranjang. Aku tahu bahwa aku tampak sangat buruk—sejujurnya aku selalu membenci diriku sendiri ketika aku baru bangun tidur—dengan rambut cokelatku yang masih berantakan dan wajah kusut khas orang yang baru bangun tidur, tetapi merapikan rambut dan wajah bahkan bukan hal pertama yang kupikir harus kulakukan sekarang. Aku harus tahu dimana Justin. Bagaimana keadaannya sekarang.
Ya, ya ini semua terkesan begitu dramatis. Aku bertingkah seperti seorang aktris opera sabun murahan di televisi hanya karena aku tidak mendapati pacarku berada di sisi tempat tidurku, jika semua hal ini terjadi seminggu yang lalu, aku pasti akan memilih berdiam diri di dalam kamar sambil mendengarkan musik dari Ipodku ketimbang bersikap khawatir layaknya orang kebakaran jenggot hanya karena Justin tidak berada disini. Namun setelah semua yang terjadi, kondisi emosi Justin yang sangat tidak stabil, kematian Jason dan semua hal membingungkan yang terjadi belakangan membuatku mau tak mau menjadi gusar dan panik. Kemana dia pergi? Apakah dia... apakah dia pergi untuk menemui orang-orang jahat itu? Aku memeluk kedua bahuku sendiri sesaat setelah pikiran itu menyambangi benakku. Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Jika kehilangan Jason saja sudah mampu membuatku menangis dan merasa sakit, bagaimana jika aku kehilangan Justin? Hidupku akan hancur, aku tahu itu.
"Samantha?" Aku baru saja menutup pintu kamar di belakangku ketika sebuah suara pria membuat kepalaku tersentak ke arah sumber suara. Keningku mengernyit dan mau tidak mau aku menyunggingkan sebuah senyum yang dipaksakan saat aku melihat sesosok pria berambut cokelat tembaga yang menatapku dengan mata hijau cerahnya. Dia adalah Robert, salah satu dari anggota grup dan sekarang dia tengah menatapku dengan sebelah alis yang dilengkungkan.
"Rob... err, apakah kau tahu dimana Justin?"
"Justin?" Ekspresi penuh tanda tanya Robert membuatku makin khawatir, dan sebelum dia sempat membuka mulut untuk melontarkan ucapannya, aku telah terlebih dahulu menyela dengan kata-kataku.
"Urm, aku harus mencarinya. Thanks, Rob!" Aku berseru sembari melangkah menjauhi Robert yang pasti tengah menatap punggungku dengan tatapan aneh bercampur heran sekarang. Oh persetan. For God's sake, aku butuh tahu dimana pacarku berada sekarang! Memikirkan gagasan bahwa dia akan pergi untuk melakukan sebuah acara balas dendam atas kematian Jason membuat perutku mual seakan-akan seseorang tengah meninjunya dari dalam, dan hal itu sukses membuatku mempercepat langkahku. Apakah dia pergi... apakah dia pergi...