***
Samantha memejamkan matanya, merasakan hantaman masa lalu itu mengenainya dengan begitu kuat. Kata-kata Levina tak urung membuat pikirannya kembali mengingat Cole. Kembali mengingat Dylan. Kembali mengingat Ana. Kembali mengingat Marry. Mereka adalah anak-anak kecil di panti asuhan yang seringkali mengganggunya, yang sering menindasnya dan mengambil semua barang yang dia miliki. Dia sama sekali tidak bisa melakukan apapun waktu itu, meskipun dia bercerita pada Sharon, itu justru akan membuat Sharon semakin marah karena menganggap dirinyalah yang membuat keributan. Dia kesepian, sendiri, nyaris tidak punya teman yang bisa diajak bicara kecuali boneka teddy bear mungil warna merah jambu yang menjadi hadiah natalnya, hingga suatu hari di musim panas, Samantha tidak akan bisa melupakan bagaimana Marry telah merusak bonekanya, kemudian membuatnya terjatuh dari tangga hingga harus menjalani opname di rumah sakit. Hari gelap yang membuat alergi berdekatan dengan anak-anak. Hari gelap yang tidak pernah ingin diingatnya lagi, namun sulit melawan pengaruh trauma itu dengan sosok Marry di sampingnya.
Levina Marry Townsend.
"Kau tampaknya benar-benar mengingatku, little teddy bear girl," Levina mengulum senyum saat melihat reaksi Samantha. "Kau benar-benar punya ingatan yang bagus. Kau masih mengingatku, kau masih mengingat seorang Marry yang menyedihkan dari masa kecilmu—meskipun tentu saja aku tidak semenyedihkan dirimu. Namun yang kubenci, kenapa kau justru mendapat lebih banyak keberuntungan dari aku." Levina meneruskan ucapannya dengan nada muak.
"Lepaskan aku." Samantha berbisik, menarik napas dalam-dalam dan mencoba membuka matanya dengan perlahan. Dia menoleh, menatap Levina dengan kedua matanya. "Lepaskan aku." Dia mengulangi dengan suara yang sarat penekanan.
"Mr. Rosabel membuat keputusan yang salah—ah tidak. Bukan. Itu semua bukan salahnya. Itu semua adalah kesalahanmu dan kakakmu. Kalian tahu berkat siapa kalian bisa merasakan hidup yang nyaman dan jauh dari masalah seperti sekarang, huh? Itu karena aku dan kakakku. Karena kau dan Sharon mengambil tempatku dan Wanda. Kau tahu, pada kali pertama Mr. Rosabel melihatku, dia tertarik padaku. Dia ingin mengadopsiku sebagai cucunya, sebagai puteri dari anak laki-lakinya yang tidak akan pernah bisa memiliki anak lagi. Namun kemudian Sharon dan kau muncul, sementara Wanda tidak berada di sisiku. Dia beralih pada Sharon. Takjub pada kemampuannya bermain piano, tapi apa? Dia mengadosipmu bukan karena dia menginginkanmu. Tapi karena dia menginginkan Sharon. Namun tentu saja kemampuan Sharon dalam bermain piano jauh tertinggal dengan kemampuan Wanda. Hanya karena dia tidak berada disana waktu itu... hanya karena Mr. Rosabel merasa simpati padamu yang cengeng dan menyedihkan, dia memutuskan membawa kalian pergi. Dan kalian, tanpa sedikitpun rasa kasihan, merebut segala masa depan indah yang seharusnya menjadi milikku dan Wanda dalam sekali kedipan mata!!"
"Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan dalam otak sintingmu itu." Napas Samantha terengah oleh adrenalinnya. "Tapi sejauh yang kulihat, bukankah yang juga mendapatkan orang tua adopsi? Dan orang tua adopsimu itu jelas lebih kaya dari kakekku. Dan soal kata-katamu, kau harus memperhatikannya. Kakekku menyayangiku dan Sharon lebih dari apapun, bahkan hingga detik terakhir kehidupannya."
"Yeah, aku memang sinting." Levina tertawa sumbang. "Namun kehilangan keperawanan pada usia lima belas tahun bukanlah sesuatu yang membuatmu mampu tetap bertahan dalam kewarasanmu."
"Kau apa?"
"Aku memang memiliki orang tua asuh." Levina berujar ketus sambil memperdalam pijakannya pada pedal gas, membuat mobil melaju tanpa kendali. "Keluarga Townsend yang brengsek. Dengan kakak laki-laki yang brengsek dan ayah yang pemabuk. Ayahku menyiksa Wanda setiap kali dia melakukan kesalahan paling kecil. Ibuku hanya bisa duduk diam dan berucap tanpa ekspresi. Dan kakak laki-lakiku, dia adalah iblis yang datang ke kamarku setiap kali dia membutuhkan sesuatu sebagai pelampiasan. Satu-satunya yang kupikirkan adalah rumah yang hangat, bukan keluarga dingin yang pada akhirnya menyakitiku. Hingga pada akhirnya Wanda pergi begitu saja, meninggalkanku sendirian. Memaksaku bertahan hingga batas akhirku, hingga aku memilih pergi dari rumah dan menjadi tunawisma di jalanan hingga pasangan Straus, paman dan bibi Melanie menemukanku."