***
Samantha terperangah selama beberapa saat sebelum akhirnya sebelah tangan gadis itu terangkat ke sisi wajahnya, menutupi pandangannya dari Justin yang telah bertelanjang dada. Samantha mendengus, menurunkan tangan dari tepi wajahnya dan kembali menaikkan tangannya saat dia melihat Justin mengerlingkan sebuah senyuman mengejek padanya. Oh sialan. Samantha mendesis, berteriak agar Justin kembali memakai bajunya.
"Justin, jangan bercanda! Apa yang kau lakukan?!" Samantha melotot, berdecak ketika Justin hanya tertawa terbahak-bahak sebagai respon.
"Apa yang kulakukan?" Pria itu menjilat bibir bawahnya, kemudian memandang pada Samantha dengan tatapan yang begitu menggoda, membuat Samantha menggigit jarinya sambil berusaha menghindari arah pandangan mata Justin. "Aku sudah bilang, cobalah menebaknya."
"Kau..."
"Ya, Boo?" Justin merentangkan kedua tangannya sambil melangkah mendekati ranjang tempat Samantha berada sekarang. "Kau bisa menebaknya?"
Samantha melotot. "Jangan mendekat!"
"Apa?" Justin mengangkat sebelah alisnya, tampak menikmati wajah Samantha yang diliputi oleh kegugupan dan kekhawatiran. "Kau melarangku mendekat?"
"Kau pikir aku tidak bisa membaca niat buruk dalam kepalamu itu, huh?! Dasar mesum!" Gadis berambut cokelat panjang itu memekik seraya meraih sebuah bantal yang berada paling dekat dari tempatnya terduduk, kemudian melemparkan bantal itu pada Justin. "Kau berniat bersikap kurang ajar padaku, iya kan?! Mengaku saja! Dengar ya, meskipun kita berpacaran, itu tidak berarti aku akan mengizinkanmu berbuat kurang ajar padaku!!" Samantha menuding pada Justin dengan jari telunjuknya, membuat Justin ternganga selama beberapa saat.
"Hey—hey—hey!" Justin mengerutkan keningnya. "Jangan terlalu percaya diri."
Samantha menyipitkan matanya. "Lantas mengapa kau membuka bajumu?"
"Karena aku ingin mandi, mana ada orang mandi masih memakai pakaian?" Justin membalas dengan tegas. "Dan kau, aa, aku tahu, dibalik penolakanmu itu, kau justru sangat mengharapkan sesuatu dariku, iya kan? Mengaku saja, babe!"
Wajah gadis itu berubah merah padam. "Ap—tentu saja tidak!"
"Aku bisa melihatnya dengan jelas di matamu." Justin mengerling sambil terkekeh puas. Lelaki itu baru saja berniat bergerak ketika suara selaan Samantha yang galak membuat gerakannya terhenti.
"Mau kemana kau?!" Ujar gadis itu dengan penuh antisipasi.
"Aku mau... mandi," Justin menyeringai, "Kenapa? Kau mau menemaniku?"
"Tidak." jawab Samantha dengan ketus. "Oh God's sake, sampai kapan kau akan terus menggodaku?"
"Aku tidak tahu," Justin nyengir. "Aku suka melihat wajahmu yang memerah saat aku menggodamu."
"Kau jahat." Samantha berkomentar.
"Tapi kau mencintaiku." Justin menyahut seraya mengedipkan sebelah matanya, "Jangan pergi kemana-mana, Boo." Dia bicara lagi lantas melangkah melewati ranjang tempat Samantha terduduk dan beranjak menuju pintu kamar mandi untuk kemudian membanting pintu kamar mandi hingga menutup di belakangnya. Samantha mendengus.
"Gila, bagaimana bisa aku berpacaran dengan pria semacam itu?"
"Aku mendengarnya, Boo." Terdengar suara aneh dari dalam kamar mandi sedetik setelahnya. Sepertinya Justin tengah bicara sambil menggigit sikat giginya, karena kata-katanya tidak terdengar dengan jelas. Samantha memutar bola matanya, berusaha tidak menghiraukan Justin dan memilih menatap ke langit-langit untuk beberapa menit berikutnya meskipun diam-diam dia memasang telinganya untuk mendengarkan apa yang Justin lakukan di kamar mandi. Terdengar suara air keran yang mengucur, kemudian suara toilet yang khas yang selanjutnya tergantikan oleh suara deraian air shower yang turun membasahi lantai kamar mandi. Ada asap tipis yang keluar dari lubang pintu kamar mandi, yang membuat Samantha tahu bahwa Justin tengah mengguyur tubuhnya di bawah shower sekarang.