Samantha's Point of View
"Jadi," Justin berujar sembari mengubur ujung hidungnya ke leherku, dan aku bisa merasakannya hembusan napasnya disana. Selama sesaat dia membungkuk dan bernapas di leherku, sementara kami masih berjalan dengan sebelah tangannya melingkari pinggulku secara protektif.. Aku terkekeh, ketika dia menarik hidungnya dari bagian samping leherku dan mengalihkan perhatiannya pada helai rambut tipis yang menempel di keningku. "Kau tidak akan memanggilku dengan sebutan konyol itu lagi kan, baby girl?"
Aku tertawa sembari mengalihkan wajahku untuk memandang pada sepasang matanya. Meskipun ini adalah masa sulit, pada kenyataannya aku merasa senang karena dia sudah mulai kembali pada dirinya yang biasa. Aku lebih suka melihat Justin yang merasa riang atau cenderung mesum ketimbang Justin yang terdiam, walaupun ini semua pasti berat baginya mengingat betapa hancur dia kemarin. "Aku tidak janji. Well, soalnya kata 'Biebsky' terdengar cute, kau tahu?"
"Aku tidak butuh sesuatu yang bersifat cute." Justin memiringkan kepalanya dan menyunggingkan sebuah senyum miring yang tidak bisa menahanku untuk tidak tersenyum. "...selain kau." Kata-kata selanjutnya yang dia ucapkan membuat sebuah aliran hangat terasa menyebar di pipiku kemudian turun ke rongga dadaku. Aku tertawa sementara kami masih berjalan melintasi bagian tengah rumah yang dihuni oleh Kyle, Landi, Megan dan teman-teman perempuan mereka yang lain ketika sebuah suara deheman kasar yang tiba-tiba terdengar, yang secara otomatis membuat kepalaku dan kepala Justin tertoleh ke arah yang sama. Perutku terasa mulas dan mengejang oleh sesuatu yang abstrak ketika aku melihat Selena tengah berdiri di ambang pintu. Rambut cokelatnya ditata dalam semacam tatanan French twist dan gaun hitam mengesankan membalut tubuhnya hingga lutut.
"Hey Justin." Selena menyapa Justin dengan nada riang, seakan-akan Justin adalah sahabat terdekatnya, namun dia hanya memberikan sebuah seringai sinis padaku yang membuat senyum di wajahku memudar. Justin tampaknya merasakan perubahan suasana yang terjadi di ruangan ini, karena lengannya melingkar lebih erat di pinggangku.
"Selena." Dia mengangguk, kemudian bersikap acuh dan kami baru akan mulai melangkah lagi ketika suara Selena yang bernada ketus nan dingin membuat langkah kaki kami kembali terhenti.
"She killed Jason, Justin. You should realize it." Jantungku serasa nyaris turun ke perut sesaat setelah aku mendengar Selena menyelesaikan ucapannya. Aku menelan ludahku, menatap pada Selena yang balik memandangku dengan tatapan paling penuh permusuhan dan paling sinis yang dia miliki. Aku ingin membantah kata-katanya, mengatakan bahwa aku bukanlah penyebab kematian Jason, namun entah bagaimana ada sisi terdalam di sudut batinku yang mengatakan bahwa apa yang dikatakan Selena itu benar. Jason tidak akan gegabah dan datang menemui Peter jika bukan karena aku. Aku tertunduk dengan pandangan mata menusuk lantai, tidak tahu apa yang harus aku katakan.
"Don't start." Justin berbisik, menatap pada Selena dan nada suaranya sungguh-sungguh dalam dan sungguh-sungguh berat. Selena menyipitkan matanya, dan kemudian sebuah semburan penuh kemarahan meluncur keluar dari celah bibirnya yang terlapisi oleh nude lipstick.
"Terus saja melindunginya!" Selena berseru dengan emosi. "Kau terus saja melindunginya hingga kau lebih memilih untuk kehilangan kakakmu ketimbang kehilangan dia." Selena menggelengkan kepalanya dengan sebuah ekspresi tidak percaya membayang di kedua iris matanya yang berwarna cokelat gelap. "You're an assholes, Justin. Fucking assholes because you let your brother died just for a stupid cunt like her!" Kata-kata yang selanjutnya keluar tanpa control dari mulut Selena membuatku tercekat, dan kurasakan sesuatu dalam dadaku terasa sakit. Apakah aku memang seburuk itu? Mengapa dia menilaiku seburuk itu? Apakah karena dia merasa kalut karena kehilangan Jason yang notabene adalah temannya juga?