Impian

8 1 0
                                    

BAB XIII

Banyak orang memiliki impian, namun terkadang, impian itu sederhana, sesederhana ingin memiliki keluarga dan bersama orang terkasih.

---

2021, Belanda

Kafetaria Milik Lora

"Impian gue sederhana, gue pengen jadi model dan sekolah di perguruan tinggi super-prestisius, you know, Universitas Indonesia bersama dengan sosok yang gue kagumi dari dulu, yang cintanya gak pernah tergapai sampai detik ini.

Gue udah ditelpon dan menemui agensi model ternama di Jakarta Selatan setelah gue mengikuti casting. Gue bawa pulang surat kontrak saat itu, tapi gak bisa ngasih tahu ke ortu, pun Nora. Lo pasti bertanya kenapa? Karena kejadian itu terjadi.

Gue gak pernah membicarakan impian gue sama kakak gue sekalipun hingga tadi karena gue benci ingat kejadian itu. Gue juga benci untuk tiba-tiba terbang ke Belanda. Gue benci lihat mama pakai baju tahanan. Gue benci lihat Nora sampai Rio lahir."

Pram yang sedari tadi menunduk sembari memainkan jemarinya itu kini menatap Lora. Lora tak berbeda dengan Pram, ia juga menunduk, namun entah apakah ia juga memainkan jemarinya di balik meja itu atau tidak. Pram tidak bisa melihat.

Perasaan Pram bercampur aduk. Ia kembali menyalahkan dirinya atas kejadian yang menimpa keluarga Nora. Bagaimana pun, ia ambil andil, bukan? Sungguh, Pram tidak bisa berucap. Apalagi, melihat Lora menjadi terbuka dengan semua kisah yang dipendam. Wanita ini pasti sama tersiksanya seperti Nora, kan?

Lora menyeka air matanya yang turun dengan cepat dan kasar. Ia tidak ingin terlihat menangis di hadapan lelaki itu—yang seharusnya menjadi kakak iparnya. Ia melirik sedikit pada Pram. Lelaki itu ternyata berani menatapnya dengan tatapan menyebalkan: tatapan iba dan rasa bersalah. Cih, sama aja sama pasangannya!

"Gue gak pengen jadi model di sini. Gue gak pengen sekolah tinggi-tinggi kaya Nora. Gue pengen buka kafe aja. Toh gue pinter bikin kue dan kopi. Tapi nenek minta gue masuk ke sekolah pastri. Mau gak mau, ya gue terima. Anak bontot harus nurut juga, kan?"

Lora kemudian menjelaskan bagaimana ia memilih membuka kafe ini. Mereka terdiam barang beberapa menit. Lora mengalihkan pandangan ke luar jendela. Ingatannya dibanjiri dengan saat-saat pertama membuka kafe ini.

Pram tidak mengatakan apa pun. Ia hanya diam mendengarkan. Tidak tahu harus berucap apa. Seharusnya ada pelatihan di rumah sakitnya tentang bagaimana menanggapi percakapan sulit! Psikolog di rumah sakitnya harusnya lebih membagi ilmunya! Pram mengumpat dalam hati. Ah, memang enak sekali rasanya menyalahkan orang lain, seakan dirinya terbebas dari tanggung jawab untuk menjadi lebih baik. Padahal, apa salah psikolog padanya? Terkadang manusia memang lucu ketika menghindari kenyataan bahwa dirinya sendirilah yang kurang mampu.

Lora menghela napas.

"Lihat. Lo bahkan gak bisa ngomong apa-apa." Lora terkekeh menyindir. "Gue tahu kalau lo gak tahu apa-apa. Gue cuma cari kambing hitam yang harus mempertanggungjawabkan kandasnya impian gue dan kandasnya keluarga gue. Rasanya lebih baik kalau gue nyalahin lo dan Nora. Gue jadi gak perlu ingat bahwa seharusnya gue bicara dengan Nora, dengan mama, dengan nenek, dan harusnya gue buang aja gengsi. Gue belum cukup dewasa saat itu... oh saat ini pun! Rasanya gue masih pengen nyalahin lo."

Pram masih diam. Dia juga merasa lebih baik bila perempuan ini menyalahkannya. Tentu saja! Seseorang yang tidak enakan seperti Pram ini terlalu baik pada orang lain bahkan ia tidak membela dirinya sendiri saat ini!

The Unrevealed Story [ ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang