Diam

2 1 0
                                    

BAB VI

Ketika kata-kata tidak dapat mengekspresikan hal yang dirasakan, lebih baik diam untuk menghindari kesalahpahaman.

---

2009, Indonesia

Soedirman Intercultural University Hospital,

Kantin

Paramayoga Mahawira membawa dua buah kopi dingin yang dipesan. Satu ia pesankan khusus untuk Juan, untuk merayakan tiga bulan Juan koas di rumah sakit, dan satu lagi untuk dirinya. Senyum merekah dari wajah Pram. Ia senang menyambut adik tingkatnya ini di rumah sakit. Sementara, dirinya sudah lulus dan sedang masa internship untuk mendapatkan surat izin praktik.

"Vanilla latte buat lo, Americano buat gue."

Pram menaruh vanilla latte di atas meja, di hadapan Juan. Seketika ia terdiam. Vanilla latte mengingatkan dirinya pada sosok puan yang masih ia kasihi sampai saat itu. Makian ia rapalkan pada diri. Cukup sudah mengingat puan, ia tak akan kembali, bukan? Tidak ingin berlarut untuk bersedih, Pram mengangkat kedua alisnya sesaat, menandakan bahwa ia sudah harus bangun menghidupi realita.

Juan yang menangkap sinyal itu menghela napas pendek. Sejujurnya, ia menimbang, apakah harus mengatakan pada Pram atau tidak tentang Nora dan hidupnya kini. Juan baru saja bertemu Nora tiga hari yang lalu mengantarkan ibu Nora ke rumah duka sebelum diterbangkan dan disemayamkan di Belanda. Namun, Nora memberikan tanda pada Juan untuk tidak bercerita pada siapapun, tidak terkecuali pada Pram.

"Sorry nih, gue baru bisa nyambut lo sekarang." Tutur Pram, senyum bertengger di wajahnya yang tirus.

Juan terkekeh. "Apaan sih, gue seneng kalau lo sering-sering nyambut."

Kedua lelaki ini tertawa kecil.

"Belum ada berita dari Nora." Tutur Juan. Akhirnya, Juan memilih untuk bungkam. Dia ingin Nora sendiri yang berbicara dengan Pram terkait kehidupannya. Ia pun sejujurnya kurang tahu tentang kehidupan Nora. Yang ia tahu, Nora sudah punya anak laki-laki mungil yang kemarin sempat bermain bersama dan Nora kehilangan ibunya kemarin.

Juan tahu, Pram kecewa. Tapi, Pram berusaha menutupinya dengan menghindari tatapan. Tidak lama, ia menyunggingkan senyum. Mungkin itu cara terbaik Pram dalam menanggapi hal ini. "Gue gak nanya, Juan."

"Lo... udah move on?" Juan mengernyit heran. Lelaki ini tidak mungkin sudah melupakan Nora, bukan? Pram bukan sosok pria yang mudah jatuh hati, bukan juga sosok pria yang mudah berpaling.

Pram terlihat berpikir. Kedua manik bola matanya bergerak tak tentu, seperti sedang menimbang. Entah apa yang ia timbang, Juan tidak ingin menebak-nebak. Ia sudah banyak menyimpan rahasia Nora dari Pram. Rasanya tidak pantas berasumsi pada pria ini. Lalu, ketika sudah yakin akan jawabannya, Pram menatap Juan kembali.

"Bukannya kita harus menjalani hidup?"

Kemudian keluar kekehan kecil dari Pram. Kekehan itu tidak seperti tawa yang lucu, lebih kepada menyembunyikan rasa perih yang dimiliki.

Juan tahu, Pram masih mencintai Nora saat itu.

. . .

2021, Belanda

Maastricht University, Ruangan yang Berbeda

Faculty of Psychology and Neuroscience

The Unrevealed Story [ ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang