Juan dan Dilema

2 1 0
                                    

BAB VIII

Ketika berada di antara rahasia dan setia kawan, lelaki ini memilih bungkam.

---

2021, Belanda

Hotel

Pram terbelalak melihat Juan ada di lobi hotelnya. Dia bahkan sampai menoleh ke kiri dan ke kanan, mencoba memahami apakah dia sedang berkhayal atau memang ini adalah nyata. Pasalnya, Juan akan datang dua hari lagi bersama dengan istri dan anak perempuannya. Namun, ia terbengong ketika malah hanya ada seorang Juan saat ini di hadapannya dan bukan di jadwal yang seharusnya mereka sepakati.

Pram yang masih terkejut ini menampar Juan dengan sengaja.

"Dokter Paramayoga Mahawira, kurang ajar sekali Anda." Sahut Juan setelah mendapat tamparan. "Saya ini bukan makhluk astral, ya. Permisi."

Pram masih menganga. Ini nyata. Otak Pram kini memaknai situasi ini sebagai realita.

"Ngapain di sini?" Tanya Pram yang kemudian dianggap kejam oleh Juan.

"Kenapa tanya ngapain ke sini? Ya mau ikut workshop lah." Jawab Juan dengan emosi. Tentu saja Juan emosi, dia sudah menghubungi Pram berkali-kali namun tak kunjung terjawab juga. Juan yang sudah lelah perjalanan jauh Jakarta-Belanda dengan pesawat ditambah harus menempuh lagi perjalanan dari Amsterdam ke Maastricht ingin langsung mandi air hangat dan tidur namun rencana indah itu sirna karena lelaki di hadapannya tak dapat dihubungi. Sekarang, lelaki yang tidak dapat dihubungi itu malah datang menampar dan bertanya mengapa Juan ada di sana detik itu.

Pram masih bingung. Otaknya menjadi melambat karena lelah bermain basket.

"Cepetan tunjukin mana kamar lo! Gue udah nunggu tiga jam, udah nelpon lo, gak diangkat-angkat." Juan mengomel. Juan memang lelaki yang pandai mengomel.

. . .

"Istri gue tiba-tiba dapet kerjaan audit ke Kalimantan di hari yang sama ke sini. Yaudah gue tuker tiket ke penerbangan hari ini aja." Juan menjelaskan perihal kedatangannya yang sendirian itu sambil duduk di ujung tempat tidur dan melepas kaus kaki miliknya.

Sementara, Pram melipat kedua tangannya di atas dada. Ia masih berdiri di depan pintu masuk sembari memperhatikan Juan yang banyak mengoceh semenjak tadi.

"Gue mandi dulu." Akhirnya, ocehan Juan berhenti.

Juan hendak melangkahkan kakinya menuju kamar mandi ketika Pram memicing padanya dengan tatapan serius.

Juan berhenti.

"Gue tahu lo masih kontakan dengan Nora. Workshop ke Belanda ini juga ulah lo, kan?"

Juan tidak bisa berkata apa-apa. Ia bisa merasakan aura kemarahan Pram. Jadi begini bila Pram marah. Betul apa yang dideskripsikan Nora. Pram menjadi sangat tegas, tatapannya tajam memicing. Nada suaranya rendah dan kata-perkata yang diucapkan menjadi lebih lugas. Tidak ada teriakan, tidak ada makian. Hanya ada ekspresi marah yang terlontar dari wajahnya juga dari cara ia berbicara.

Juan bukanlah Nora yang tidak berani menatap Pram saat marah. Walau Juan juga merasa takut, tapi ia mampu menatap Pram dan mampu bersikap tenang.

"Gue boleh mandi dulu?"

Alih-alih menjawab, Juan bertanya pada Pram. Juan lebih memilih untuk menenangkan diri dan mempersiapkan apa yang bisa ia katakan pada Pram daripada saat ini ia harus berbicara. Karena jika saat ini ia berbicara, ia akan banyak melantur. Baru kali ini ia melihat Pram yang sangat marah dan sejujurnya, baru kali ini pula Juan merasa gentar berbincang dengan Pram.

The Unrevealed Story [ ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang