Bicara

6 1 2
                                    

BAB XI

Saat membicarakan hal sulit, memang sebaiknya dalam keadaan mental yang stabil.

---

2021, Belanda

Taman Pemakaman Umum

Setelah keduanya saling memeluk, mereka diam untuk menenangkan diri. Keduanya menemukan taman di dekat pemakaman. Mereka berakhir duduk bersebelahan, namun masih tanpa ucap kata. Hanya saja, perasaan yang mereka rasakan kini lebih tenang. Walau tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, hati keduanya sudah lebih menghangat dan terasa terhubung.

Nora merogoh tas kecil yang ia kenakan. Ia membuka ponselnya yang ada di dalam tas. Sementara Pram masih duduk menatap hamparan hijau di hadapan mereka. Ia menikmati suasana taman dalam diam sekaligus menetralkan perasaannya.

Nora mencolek tangan Pram, membuat lelaki itu menoleh dan mengalihkan atensi pada sang puan.

Nora menyodorkan ponselnya. Di ponsel itu terdapat foto seorang bayi laki-laki yang sedang tertawa memperlihatkan mulut yang belum ditumbuhi gigi dengan polosnya. Kira-kira, usia bayi itu empat bulan, karena ia sudah mulai berisi. Tak sadar, Pram tersenyum melihat foto bayi tersebut.

"Namanya Arterio Wira."

"Dari kata arteri, pembuluh darah utama dan wira, yang artinya lelaki dan..."

Nora mulai menjelaskan. Pram menatapnya dengan cukup lembut, memberikan kekuatan pada Nora untuk melanjutkan.

"...dan namamu, Mahawira."

Sudut bibir Pram terangkat, menyungingkan senyum tanpa sadar.

"So... he's a boy."

Nora tersenyum sembari perlahan mengangguk. Kemudian, ia menggeser slide ponselnya, memperlihatkan foto-foto bayi Rio yang ceria dan menggemaskan. Rio nampak begitu bulat dan lincah. Nora tenggelam dalam memori masa kecil Rio, di mana itu adalah kebahagiaannya yang tak terhingga.

"He is now fifteen."

Nora menerawang sebentar, kemudian memperlihatkan foto Rio yang sudah beranjak dewasa. Rio kini terlihat tinggi dengan rambut sedikit kecoklatan dan terkesan tidak suka difoto oleh ibunya.

Pram merasa tak asing dengan anak itu. Bukankah ia yang bermain basket dengannya?, pikir Pram saat itu. Semakin memperhatikan, semakin ia dapat memastikan. Ternyata anak lelaki itu... apakah ia tahu bahwa saya adalah ayahnya?

"Sama kaya ayahnya, dia suka sekali bermain basket dan bilang ingin menjadi atlet."

Nora menggeser foto Rio yang sedang melakukan dribble lengkap memakai seragam basket dari sekolahnya. Sepertinya Rio masuk ke dalam tim inti sekolah dan berkompetisi. Terlihat di sana ia sedang begitu serius dan lapangan indoor itu menjadi saksinya. Melihat foto Rio dan mendengar penuturan Nora, Pram terkekeh, ia mengingat percakapan dengan anak itu kemarin, benar-benar baru kemarin.

Nora tiba-tiba teringat sesuatu. Ia perlu memastikan sesuatu.

"Oh, maaf. Aku takut anakmu yang sebenarnya marah jika aku bilang seperti tadi."

Pram tersenyum sembari mengernyit bingung, "Memangnya, Arterio Wira ini bukan anakku yang sebenarnya?"

Nora salah tingkah. Ia benar-benar bingung untuk menjelaskan maksud dari perkataannya. "Maksudku, anakmu yang sah dan... mungkin..." Nora mulai berhati-hati dalam berbicara. "Istrimu..."

The Unrevealed Story [ ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang