Chapter 2: Cahaya di Tengah Kegelapan

61 3 0
                                    

Anak itu masih duduk di bawah pohon besar, tubuhnya gemetar, matanya menatap kosong ke depan. Udara dingin mengelus kulitnya, tetapi ia terlalu lelah untuk bergerak.

Hatinya penuh rasa putus asa. Ia bahkan tak tahu ke mana harus melangkah lagi. Namun, ketika ia mencoba mengatur napas, tangan kecilnya meraba sesuatu di bawah tumpukan dedaunan. Sesuatu yang keras dan dingin.

Jemarinya menyentuh logam dengan tepi yang sedikit kasar. Ia menggenggam benda itu perlahan, menariknya keluar dari dedaunan basah.

Matanya terpaku pada benda yang kini ada di tangannya.

"Petromax?" gumamnya dengan suara serak, bercampur heran dan bingung.

Ia mengenali benda itu. Entah bagaimana, ia tahu apa itu, bagaimana cara kerjanya, dan apa yang harus dilakukan untuk menyalakannya. Namun, ingatan tentang bagaimana benda ini bisa sampai di sini atau siapa yang memilikinya tetap kosong, seperti lubang gelap yang tidak bisa dijelaskan.

Lentera itu terbuat dari logam tua. Goresan di permukaannya menunjukkan betapa sering benda itu digunakan. Pegangan usangnya mengisyaratkan cerita-cerita yang tak bisa ia ingat.

Anak itu menatap benda itu lebih lama, lalu menggoyangkan lentera itu perlahan.

Gluk-gluk... gluk-gluk...

Bunyi cairan yang bergerak di dalamnya mengisyaratkan bahwa masih ada minyak. Ia menaruh lentera itu di tanah, lalu mulai memompanya. Gerakannya otomatis, seperti ia pernah melakukannya ribuan kali sebelumnya.

Cis-cis... cis-cis... cis-cis...

Ketika ia memutar kenob kecil di bawah lentera, suara klik terdengar pelan.

Klak... klak... klak...

Percikan kecil muncul, dan seketika, nyala api tumbuh perlahan di dalam kaca lentera. Cahaya hangat dan kuning memancar, menyinari sekitarnya dengan lembut.

Hutan yang sebelumnya terasa seperti jurang tak berujung kini berubah sedikit lebih ramah. Bayangan pepohonan yang melingkupinya tampak mundur, seperti dihentikan oleh cahaya itu.

Anak itu memegang lentera itu erat, menatap nyalanya dengan campuran rasa lega dan takjub. "Sekarang aku bisa melihat," gumamnya, hampir tidak percaya.

Dengan lentera di tangannya, ia mengangkat cahaya itu tinggi-tinggi. Mata kecilnya memindai sekitarnya dengan lebih jelas. Dedauan yang sebelumnya hanya hitam sekarang terlihat berkilauan oleh embun. Bayangan pohon besar berdiri diam, tetapi tidak lagi terasa menekan seperti sebelumnya.

Namun, di sudut matanya, ia melihat sesuatu di tanah, tidak jauh dari tempatnya berdiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Namun, di sudut matanya, ia melihat sesuatu di tanah, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Cahaya lentera memantul dari permukaan benda itu, membuatnya menyadari kehadirannya.

Ia mendekat dengan langkah hati-hati. Di antara akar-akar besar, ia melihat sebuah tas punggung. Di sampingnya tergeletak sebuah topi bundar hitam, basah oleh embun malam.

Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menatap benda-benda itu dengan hati-hati, seolah takut mereka akan menghilang jika disentuh.

"Mungkin ini milikku," pikirnya, meskipun keraguan besar menyelimuti benaknya.

Ia berjongkok dan meraih tas itu. Ketika jemarinya menyentuhnya, rasa dingin logam ritsleting menyusup ke kulitnya. Dengan gerakan perlahan, ia menarik ritsleting itu, membuka tas seperti membuka peti harta karun yang tersembunyi.

Isi tas itu sederhana: botol minum, kotak makan, dan senter kecil. Ia memeriksa satu per satu, berharap menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan dirinya. Tapi tidak ada. Hanya benda-benda biasa tanpa makna khusus.

Di dalam tas, ia menemukan beberapa buku kecil. Ketika ia membuka salah satunya, tulisan tangan di dalamnya terlihat akrab tetapi terasa jauh. Buku itu penuh dengan pelajaran matematika, fisika, dan biologi.

Ketika ia mencoba membaca lebih jauh, rasa pusing menyergapnya. Ia menutup buku itu dengan cepat, dan mengembalikannya ke dalam tas. Napasnya pendek dan berat. "Apa ini semua... milikku?" pikirnya, tapi ia tidak yakin.

Lalu, matanya tertuju pada sesuatu di sudut tas. Mainan kecil—kereta lokomotif dengan gerbong yang terpisah.

Ia menggenggamnya perlahan, dan bayangan samar mulai muncul di pikirannya.

Kereta uap besar meluncur di atas rel, mengeluarkan suara gemuruh yang dalam.

Whoosh... whoosh...

Asap putih mengepul dari cerobongnya, membubung tinggi ke langit.

Chuff... chuff... chuff...

Roda-rodanya bergerak dengan ritme yang stabil, menghasilkan suara yang berulang.

Tak... tak... tak...

Anak kecil dalam bayangan itu tersenyum lebar, berdiri di belakang jendela kereta, melambaikan tangan pada seseorang di kejauhan.

Tapi bayangan itu pecah seperti kaca yang terjatuh. Kereta itu menghilang, meninggalkan hutan yang gelap dan sunyi di hadapannya.

Dengan tangan yang masih gemetar, ia memasukkan kembali mainan itu ke dalam tas. Namun, ia menemukan sesuatu yang lain—sebuah album foto besar. Sampulnya terasa keras dan usang di tangannya.

Ia membukanya perlahan. Cahaya lentera menerangi halaman-halaman itu, memperlihatkan foto-foto lama.

Beberapa wajah tersenyum dari masa lalu, tetapi mereka seperti bayangan buram. Tidak ada satu pun yang terasa nyata, meskipun mereka tampak begitu dekat.

"Siapa mereka?" gumamnya, matanya menatap satu foto lebih lama dari yang lain. Seorang anak kecil yang dikelilingi oleh orang-orang dewasa.

"Tunggu... apakah ini aku?" bisiknya, tangannya menyentuh foto itu dengan gemetar.

Tidak ada jawaban, hanya rasa dingin yang merayap ke hatinya.

Anak itu menutup album foto dengan cepat, seolah takut akan ada sesuatu yang keluar dari dalamnya. Ia memeluk tas itu erat-erat, lentera yang bersinar di sisinya menjadi satu-satunya hal yang memberinya rasa aman.

Meskipun ia telah menemukan benda-benda ini, hutan di sekitarnya tetap diam, tetap gelap. Dan pertanyaan tentang siapa dirinya tetap tak terjawab.

Namun, di tengah segala kebingungan dan ketakutan itu, ada satu hal yang ia tahu dengan pasti.

Ia harus terus bergerak.


***

Athruna Story #1. FirstlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang