Chapter 1: Siapa Aku?

124 4 1
                                    

Seorang anak kecil terbangun di tengah kegelapan hutan, tubuhnya menggigil oleh dinginnya malam. Pandangannya buram, dunia di sekitarnya tampak seperti lukisan yang dicelupkan ke dalam bayangan.

Kepalanya berdenyut, seperti palu yang mengetuk dari dalam tengkoraknya, mengirimkan gelombang rasa sakit hingga ke leher.

Tubuh kecilnya terbaring di atas dedaunan yang lembap, menyerap dingin ke kulitnya. Rambut hitamnya lekat di dahi, basah oleh keringat bercampur debu. Wajahnya yang mungil penuh goresan tanah, rona pucatnya hampir tak terlihat di bawah noda kotoran.

Ia mencoba bergerak, tapi setiap otot di tubuhnya terasa kaku, seolah baru saja diguncang mimpi buruk yang panjang.

Perlahan, ia mencoba bernapas, namun aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk menyelusup ke hidungnya. Perutnya terasa mual, seperti terisi batu yang berguncang di dalam. Udara di hutan terasa berat, seperti menyimpan rahasia yang tidak ingin dibagi.

Di tempat tertentu, angin membawa bau anyir samar yang tidak bisa dijelaskan asalnya—seperti darah, atau sesuatu yang mati dan terlupakan di antara semak-semak.

Anak laki-laki itu membuka mulutnya, "Di mana... aku?"

Suaranya yang serak tersapu oleh desiran dedaunan yang diterpa angin, seakan-akan hutan itu sendiri enggan untuk menjawabnya. Tangannya yang kecil mencengkeram tanah, memaksa dirinya untuk tetap sadar.

"Apa yang terjadi?" Ia menggigit bibirnya, matanya menyapu kegelapan di sekeliling, mencari jawaban yang tidak ada.

Rasa kekosongan menggerogoti hatinya, mengisi dadanya dengan keheningan yang menusuk, semakin dalam. Hutan itu tetap sunyi, gelap, dan tak berujung—seolah menjebaknya di dalam labirin kesendirian yang tak terhingga.

Dengan napas berat, ia memiringkan tubuh, mencoba mendorong dirinya ke posisi duduk. Tangan kecilnya yang kotor menggenggam dedaunan basah di bawahnya, mencari sesuatu yang kokoh untuk menopang. Tubuh kecilnya terasa lemah dan asing, seperti tubuh orang lain yang tak ia kenali.

Dedaunan yang melekat di kulitnya jatuh perlahan, namun rasa berat di dadanya tetap sama. Napasnya berderak, terputus-putus, seperti udara yang semakin menipis di sekitarnya. Dadanya sesak.

Ia menatap tangannya yang mungil dan kotor, penuh dengan tanah yang menyelip di sela-sela kuku panjangnya. Jemarinya yang gemetar menyentuh luka dan memar di kulitnya, berharap menemukan sesuatu yang mengingatkan pada dirinya sendiri.

Tapi yang ada hanya rasa sakit dan kotoran yang menutupi, membuatnya semakin asing pada dirinya sendiri.

Angin dingin merayap di antara pepohonan, menyentuh kulitnya seperti cakar-cakar lembut yang menyeramkan. Menyusup hingga ke tulang, seolah membisikkan ketakutan di telinganya. Hutan ini terasa hidup, bayangan-bayangan samar seolah menontonnya dari balik pepohonan, mempermainkan ketakutannya.

"Kenapa aku bisa di sini?" suaranya pecah, gemetar dan rapuh.

Ia menekan kedua tangannya ke tanah, merasakan kelembutan lumut yang dingin. Rasa dingin itu menjalar, memberinya keyakinan kecil bahwa ia masih hidup.

Ia memeluk tubuhnya erat, mencoba melawan dingin, namun rasa takut itu meresap lebih dalam. Lalu merangkul lututnya erat-erat, menundukkan kepalanya dalam pelukan lengannya. Air mata mengalir tanpa ia sadari, bercampur dengan kotoran di pipinya dan ingus yang terasa asin di mulutnya.

"Siapa aku?" bisiknya dengan suara yang pecah, nyaris tak bisa dikenali oleh dirinya sendiri.

Dengan kedua tangan, ia memegang kepalanya yang terasa sakit. Pikirannya kabur, kosong, tanpa masa lalu. Jari-jarinya menyelusup ke rambut yang lengket karena keringat dan debu. Ia menarik tangan itu, menatapnya sejenak, lalu menghapusnya di celananya dengan jijik.

Athruna Story #1. FirstlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang