Raungan itu mengguncang malam, menyapu kabut seperti badai. Anak itu terjatuh, menutupi telinganya dengan kedua tangan, tetapi suara itu tetap menggetarkan tubuhnya hingga ke tulang.
Makhluk besar itu berdiri tegak, kepala besarnya dihiasi tanduk melengkung yang tajam, rambut gelap melambai seperti bayangan yang hidup. Sisiknya berkilau dalam warna keunguan, menyerap dan memantulkan cahaya bulan dengan cara yang menyeramkan.
Duuum... Duuum...
Setiap langkahnya membuat tanah berguncang. Udara di sekitarnya berubah, panas dan dingin bercampur menjadi racun yang menyengat kulit.
Mata merahnya yang membara menatap langsung ke arah anak itu. Tatapan itu penuh kebencian, tetapi ada sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih dalam, lebih tua, seolah-olah makhluk ini telah menunggu ribuan tahun untuk pertemuan ini.
Anak itu mencoba menguatkan diri, tetapi tubuhnya gemetar hebat. Napasnya berat, dan suara jantungnya terdengar seperti drum perang di telinga.
Thud-thud... thud-thud...
Pandangan mata makhluk itu dipenuhi dengan kebencian. Sang anak merasakan seakan-akan makhluk tersebut mengingat ribuan kenangan, penderitaan, dan peperangan yang tak terhitung jumlahnya. Entah bagaimana, ia merasa terhubung dengan kenangan-kenangan tersebut, seolah-olah dia pernah menyaksikannya.
Namun di balik tatapan buas makhluk itu, sekilas terlihat tingkat kecerdasan yang tinggi, untuk ukuran binatang. Sesuatu yang berbeda dari makhluk liar biasa. Anak itu merasa monster ini lebih dari sekadar pemangsa; ia adalah pemimpin mereka. Mungkin karena itu, para pemburu menjadi berkelompok.
Makhluk raksasa itu menggeram rendah, suaranya menyerupai gemuruh yang muncul dari kedalaman bumi. Kepalanya bergerak perlahan, mengendus udara di sekitar anak itu. Cakar raksasanya menancap kuat di tanah, meninggalkan jejak dalam di permukaan basah.
Lalu, cakarnya terangkat tinggi. Seperti ingin menyerang.
"J-jangan..." suaranya hampir tak terdengar. "Jangan bunuh aku... tolong..."
Lalu monster raksasa itu mendesis, menunjukkan deretan gigi yang tajam dan mengerikan. Tiba-tiba, suara terdengar dalam kepalanya, dingin dan mengerikan.
"Kau di sini adalah yang terlemah, manusia kecil..." suara itu berbisik dalam pikirannya, seperti bayangan yang hidup di dalam otaknya.
"Dan kami lapar..."
Anak itu gemetar. Suara ini tidak terdengar dari mulut makhluk itu, tetapi suara ini langsung merasuk ke dalam pikirannya, suara yang terasa seperti belati dingin menembus otaknya.
Tatapan mata anak itu tak lepas dari para predator yang mengelilinginya. Melingkari dan semakin rapat, membuatnya tak punya ruang untuk melarikan diri.
"Kenapa kau di sini, manusia kecil? Kau telah memasuki wilayah kami... dan tidak ada jalan keluar."
Anak itu terdesak mundur hingga punggungnya menempel pada batang pohon yang besar. Tak ada jalan lagi untuk lari.
"A-aku..." ia tergagap, mencoba melawan rasa takutnya. "Aku... aku hanya tersesat... Aku tak tahu bagaimana aku sampai di sini... Aku tak bermaksud datang ke sini."
Makhluk itu mengeluarkan suara geraman, suara rendah dan dalam yang bergema di hutan.
Hrrrrrr...
"Tak ada yang peduli tentang maksudmu, manusia kecil. Di sini, hanya ada satu aturan: yang terlemah... dimangsa."
Makhluk-makhluk lain di sekelilingnya mulai menggeram dan mendesis, mengeluarkan suara yang mengerikan, seolah merespons perkataan pemimpin mereka.
Anak itu merasakan lingkaran mereka semakin menyempit, suara geraman itu terus mendekat. Menciptakan paduan suara yang menyeramkan, seakan mereka tengah menyiapkan pesta perburuan. Bersiap untuk berebut mangsa. Menyantap dirinya.
Anak itu mulai menangis, air mata mengalir di pipinya. "Tolong... aku... aku tak ingin mati..."
Namun, suara yang muncul dalam pikirannya tidak menunjukkan belas kasihan.
"Sudah saatnya, manusia kecil..." Makhluk besar itu melangkah lebih dekat dengan cepat.
Daaam... Daaaam...
Mata merahnya yang menyala menatap anak itu, dan monster besar itu membuka mulutnya lebar-lebar. Siap untuk menyantapnya.
Namun, ada yang aneh.
Monster itu berhenti. Merasakan aroma yang berbeda, sesuatu yang lain ada pada diri anak itu. Ia mengendus lagi, kali ini dengan lebih hati-hati, mengerutkan hidungnya.
"Apa ini...?" gumam suara itu dalam pikiran sang anak, suaranya kini terdengar ragu.
"Kau bukan manusia!"
Anak itu berdiri terpaku, tubuhnya gemetar seperti daun di tengah badai, peluh dingin membasahi pelipisnya. Hawa di sekitarnya terasa berat, seperti dipenuhi dengan kekuatan yang menekan dari segala arah. Anak itu merasakan napasnya semakin pendek, jantungnya berdebar tak terkendali.
Matanya melebar saat melihat makhluk besar di depannya mundur perlahan, napasnya terdengar berat, seolah-olah sedang mempertimbangkan sesuatu yang tak terlihat.
"A-apa maksudnya bukan manusia...?" bisiknya nyaris tak terdengar.
Di depannya, sang Raja Pemangsa tidak menjawab. Mata merahnya tetap menatap lurus, penuh kebencian bercampur rasa penasaran.
Kabut menggulung tebal di sekitar mereka, menciptakan tirai kelabu yang menelan dunia di luar Danau Emas. Predator-predator lain mulai bergerak mendekat, lingkaran mereka semakin rapat. Bau tanah basah bercampur anyir darah memenuhi udara. Mata mereka berkilauan tajam di kegelapan, mencerminkan kelaparan dan kebencian yang tak terpuaskan.
"Tidak... jangan... kumohon..." gumamnya, air matanya menggenang. Namun suaranya lenyap di tengah geraman rendah dan deru napas para predator.
Pemimpin predator mengangkat kepalanya tinggi-tinggi.
"RAAAARGH!"
Raungan itu membelah malam, mengguncang pepohonan, membuat air Danau Emas bergetar. Itu bukan sekadar raungan, tapi sebuah perintah. Lingkaran predator langsung berhamburan, mereka berlari menuju makhluk-makhluk ajaib di sekitar danau.
Anak itu hanya bisa berdiri terpaku, menyaksikan kengerian yang tak terbayangkan di hadapannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Athruna Story #1. Firstlight
ФэнтезиIcarus Seorang anak laki-laki tanpa ingatan, terjebak di hutan ajaib yang gelap. Cahaya Petromax membawanya bertemu penjaga waktu, danau emas dan ratusan pemangsa. Apakah ia akan mampu bertahan? Jerhyn Raven terbaik, sebuah ordo pembunuh rahasia. Di...