"Kau lemah."
Sang anak tersentak mendengar suara itu. Ia berbalik cepat, hanya untuk melihat Raja Predator berdiri di dekatnya, sosoknya seperti bayangan besar yang menelan seluruh tempat itu.
"Aku..." anak itu mencoba membela diri, tapi kata-katanya hilang di udara. Ia menunduk, tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
Raja Predator mendekat, cakar kakinya menancap ke tanah, menghasilkan suara berderak yang membuat bulu kuduk meremang. Matanya yang merah bersinar menatap anak itu dengan kebencian sekaligus rasa ingin tahu.
"Siapa kau sebenarnya, manusia kecil?" tanya Raja Predator tiba-tiba, dengan nada mengejek.
Langkahnya semakin mendekat, setiap pijakannya membuat tanah bergetar. "Ah... tidak. Kau bukan manusia biasa, bukan?"
Napasnya berat dan dingin. Ia berhenti tepat di depan wajahnya, kepala besarnya mendekat untuk mengendus sekali lagi.
"Athruna..." suara itu keluar seperti bisikan, namun penuh kekuatan yang menembus pikiran anak itu. "Tapi, hanya seorang Athruna yang lemah, tanpa kemampuan apapun."
"Apa maksudmu... Athruna? Apa itu Athruna??" tanyanya dengan suara gemetar, hampir tak terdengar.
Nama itu... tulisan yang ada di buku aneh miliknya.
"Lagi dan lagi," suara Raja Predator bergema, dalam dan dingin, langsung menusuk pikiran anak itu. "Kau berdiri di sini, menyaksikan prajuritku memangsa, dan membunuh mereka, namun tetap tak berbuat apa-apa."
Anak itu merasa dadanya berdebar tak karuan, detaknya menjadi ganda, bergantian dengan ritme yang tidak wajar.
Thud-thud... thud-thud...
Pemimpin predator menyipitkan matanya, menjulurkan cakarnya ke depan, seolah hendak menusuk dada anak itu.
Sebuah tawa rendah keluar dari tenggorokan Raja Predator, dalam dan menakutkan seperti gemuruh badai. "Kau memiliki dua jantung, bukan? Detakmu, kau dengar sendiri."
"Dua jantung. Kau adalah sesuatu yang seharusnya tidak ada," kata Raja Predator. Suaranya kini menekan, seperti beban yang menindih dada anak itu.
"Kau adalah Athruna, yang terakhir dari mereka."
Suaranya seperti racun yang mengalir lembut, pelan dan mematikan. Mengusik pikiran anak itu dengan keraguan dan ketakutan.
Raja Predator mendekat, menundukkan kepala besar berbulu gelapnya hingga hanya beberapa inci dari wajah sang anak. Napasnya, hangat dan penuh aroma busuk, menyelimuti udara di antara mereka. "Ya, Athruna. Kau memiliki sesuatu yang kami butuhkan, manusia kecil. Sesuatu yang hanya kau yang bisa berikan."
Anak itu mundur, punggungnya menempel pada batang pohon besar. Ia merasa terjebak. "Aku... aku tidak tahu apa yang kau bicarakan."
Raja Predator tersenyum dingin, deretan taringnya berkilau samar di bawah cahaya bulan yang memudar. "Kau akan tahu."
Anak itu memejamkan matanya, mencoba melawan rasa sakit dan kebingungan yang merasuk ke dalam tubuhnya. Ia merasa ada sesuatu di dalam dirinya—sesuatu yang hangat, sesuatu yang ingin menjawab tuduhan itu.
"Aku... aku bukan Athruna," katanya, suaranya pecah oleh keraguan. Lebih tepatnya, sebenarnya anak itu tidak paham apa itu Athruna.
Pemimpin predator tertawa rendah, suara itu seperti guruh yang menertawakan penderitaan dunia.
"Kalau kau bukan Athruna, maka siapa kau?" tanyanya dengan nada mengejek.
Pertanyaan itu menusuk lebih dalam. Anak itu terdiam, pikirannya berputar.
Namun, dalam kesunyian pikirannya, sebuah bisikan lembut muncul. Bukan suara dari sang raja predator.
"Namamu adalah Icarus..." entah dari mana asal suara itu.
Matanya terbuka perlahan, dan kehangatan dalam dadanya semakin kuat. Ia menarik napas dalam-dalam, meski lututnya masih gemetar, dan berkata dengan suara yang lebih kuat:
"Namaku adalah Icarus."
Pemimpin predator tertegun, matanya menyipit dengan ekspresi yang sulit diartikan, antara terkejut atau tertarik.
"Icarus..." Ia mengulangi nama itu dengan nada dingin. Seperti mencicipi artinya.
Senyumnya perlahan muncul, penuh tipu daya.
"Baiklah, manusia kecil yang bernama Icarus," katanya, dengan nada yang menyerupai gurauan sinis.
"Aku adalah NOX, sang penguasa!" suaranya menggema seperti guruh, memantul di antara pepohonan dan air Danau merah darah.
Nama itu terdengar berat dan penuh kekuatan, membawa hawa kegelapan yang melingkupi seluruh tempat.
Anak itu menelan ludah, tubuhnya terasa semakin kecil di hadapan sosok besar ini. Nama itu terdengar asing namun membawa perasaan ngeri yang dalam, seolah telah berakar di dunia ini sejak awal mula.
"Tunjukkan padaku... apa yang membuatmu layak hidup."
Ia berbalik perlahan, membiarkan celah kecil di lingkaran predator seolah-olah memberikan kebebasan. Tapi anak itu tahu, ini bukan jalan keluar. Ini adalah tipuan.
Sebuah ujian untuk membuktikan dirinya, atau mungkin hanya permainan lain dari pemangsa terkuat di hutan itu. Untuk membuatnya lebih puas saat menangkap mangsa.
"Kau ingin hidup, manusia kecil? Maka lakukan yang aku minta," katanya tajam.
"Apa... apa yang harus aku lakukan?" Anak itu bertanya, suaranya bergetar.
Raja Predator menyeringai, menunjukkan deretan gigi yang tajam seperti pisau.
"Pergilah ke kuil di tengah hutan. Ambilkan barang yang ada di atas altar, dan bawakan padaku."
Icarus mundur selangkah, napasnya memburu. "Mengapa aku? Kenapa kau tidak mengambilnya sendiri?"
Sebuah tawa dingin keluar dari tenggorokan Raja Predator. "Karena tempat itu tidak menerima kami. Kuil itu hanya untuk makhluk sepertimu. Kau datang di waktu yang tepat."
"Apa maksudnya?" Icarus mengerutkan kening.
"Kau akan mengerti," jawabnya dengan nada dingin. "Atau kau akan mati saat mencoba."
Icarus merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Bau anyir darah dan aroma belerang yang menyelimuti tubuh Raja Predator membuatnya ingin muntah, tapi ia menahan diri.
"Apa yang ada di dalam kuil?"
"Kekuatan untuk keluar dari hutan ini. Tanpa itu, kita semua akan terus terjebak dalam siklus tanpa akhir," jawab Raja Predator, suaranya keras dan penuh perintah.
Icarus menggigit bibirnya, rasa takut dan keraguan membanjiri pikirannya. Namun, tatapan Raja Predator membuatnya tahu bahwa menolak bukanlah pilihan.
"Baik," katanya di akhir, meski suaranya nyaris tidak terdengar. "Aku akan pergi."
Raja Predator mengangguk, lalu melangkah menjauh. "Jangan buang waktu. Kegelapan di tempat ini tidak akan menunggu."
Icarus memandang danau untuk terakhir kalinya. Bayangan pohon-pohon besar menutup di sekelilingnya, seperti mulut raksasa yang siap melahap apa pun yang masuk.
Di belakangnya, suara Raja Predator bergema seperti ancaman. "Ingat, manusia kecil... gagal berarti mati."
Langkah Icarus semakin berat, tapi ia terus berjalan. Di depan, kabut menebal, menyelimuti hutan dengan misteri yang mencekam.
Setiap langkah membawa bau kayu tua, tanah basah, dan sesuatu yang asing—seperti aroma hujan sebelum badai besar.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Athruna Story #1. Firstlight
FantasyIcarus Seorang anak laki-laki tanpa ingatan, terjebak di hutan ajaib yang gelap. Cahaya Petromax membawanya bertemu penjaga waktu, danau emas dan ratusan pemangsa. Apakah ia akan mampu bertahan? Jerhyn Raven terbaik, sebuah ordo pembunuh rahasia. Di...