memendam sendiri

13 9 0
                                    

Kondisi Keira semakin memburuk seiring berjalannya waktu. Trauma yang dialaminya setelah kejadian pelecehan membuatnya menarik diri dari lingkungan sekitar. Dia tidak hanya merasa takut, tetapi juga mulai menghindari interaksi dengan siapa pun, terutama laki laki.

Di sekolah, Keira semakin jarang berbicara, bahkan dengan teman teman terdekatnya seperti Cindy. Setiap kali ada laki laki yang mencoba mendekatinya, entah untuk bertanya atau sekadar berbasa-basi, tubuhnya langsung menegang, dan wajahnya memucat. Dia akan menjauh tanpa berkata sepatah kata pun.

*****

Suatu hari di sekolah, Cindy mendekati Keira yang tampak sedang termenung di bangku taman.

"Kei, kok sekarang kamu sering sendiri sih?" Tanya Cindy sambil duduk di sampingnya.

Keira hanya terdiam, menunduk, dan tidak tahu harus berkata apa. Di dalam hatinya, dia ingin berbagi, tapi ada ketakutan yang terlalu besar. Dia khawatir tak seorang pun akan memahaminya, bahkan Cindy.

"Kamu kenapa sih? Aku rasa kamu tuh makin menjauh," Cindy melanjutkan dengan nada khawatir.

"Aku... Aku cuma lagi butuh waktu, Cin. Banyak yang aku pikirin."

Cindy mengerutkan kening, bingung dengan jawaban Keira yang singkat dan tidak jelas.

"Banyak yang dipikirin? Tentang apa? Kamu bisa cerita kok ke aku."

Keira menggeleng pelan, takut kalau dia menceritakan hal sebenarnya, Cindy akan menjauh atau bahkan menganggapnya aneh.

"Aku cuma ngga mau ngobrol banyak, Cin. Aku... ngga mau deket deket sama siapa pun dulu." Jawab Keira.

Cindy semakin bingung dengan sikap sahabatnya ini.

"Apa gara gara cowok? Kamu bisa bilang, Kei. Kalau ada yang ngelakuin sesuatu ke kamu, bilang aja ke aku."

Keira hanya bisa tersenyum kecil, senyum yang tampak dipaksakan.

"Ngga kok. Aku baik baik aja. Serius." Bohong itu terpaksa keluar dari mulutnya.

Namun, semakin lama Keira semakin sulit menutupi trauma yang ia rasakan.

Setiap kali ada kontak fisik, meski sekadar tersentuh tangan oleh seorang laki laki, jantungnya berdegup kencang, dan napasnya tersengal sengal. Seperti hari itu, saat di kelas, seorang teman laki laki, Rio, tanpa sengaja menepuk bahunya untuk meminjam pulpen. Keira spontan berdiri dari kursinya, menggeser bangku, dan mundur beberapa langkah.

"Kei, maaf, aku cuma mau pinjem pulpen," Ucap Rio, bingung melihat reaksi berlebihan Keira.

Wajah Keira memucat, dia tidak bisa berkata apa-apa. Pandangannya beralih ke lantai, sementara tubuhnya bergetar.

"Kamu ngga apa apa?" Tanya Rio lagi, merasa bersalah.

Keira menggeleng cepat, mengambil napas dalam-dalam, dan buru buru berlari keluar kelas tanpa sepatah kata. Semua mata di kelas mengikuti gerakannya yang aneh itu, membuat beberapa teman mulai bergosip di belakangnya.


Di luar kelas, Keira bersandar di dinding, mencoba menenangkan diri. Napasnya masih tersengal, dan air matanya mulai menetes perlahan. Dia benci perasaan ini, perasaan takut yang terus menghantuinya. Tidak ada tempat yang terasa aman.

*****

Beberapa hari kemudian, Keira bertemu dengan Angga, ketua OSIS di sekolahnya.

Angga, yang terkenal ramah dan selalu peduli pada murid murid di sekolah, memperhatikan bahwa Keira semakin jarang berinteraksi dengan orang lain.
Suatu sore, sepulang sekolah, Angga melihat Keira berjalan sendirian di halaman sekolah. Merasa khawatir, dia pun mencoba mendekati Keira.

"Kei, kamu mau pulang? Bareng aja, aku juga lewat jalan yang sama," Tawar Angga dengan senyuman.

Namun, respon yang didapatnya tidak seperti yang ia duga. Keira langsung mundur beberapa langkah, wajahnya tampak cemas dan takut.

"Ngga... ngga usah, aku bisa pulang sendiri," Jawabnya gugup, tanpa menatap Angga.

Angga merasa aneh dengan reaksi Keira, tetapi dia tetap mencoba bersikap ramah.

"Aku cuma mau bantu, Kei. Aku lihat kamu belakangan ini sering sendiri. Ada masalah? Kamu bisa cerita kalau ada apa-apa."

Keira terdiam sejenak, menunduk. Dalam pikirannya, dia ingin sekali menceritakan semuanya. Tapi setiap kali dia berpikir untuk berbicara, bayangan kejadian buruk itu muncul lagi, menghentikan semua niatnya.

"Aku... ngga apa apa," Jawabnya pelan, lalu segera berjalan menjauh dari Angga. Dia tidak bisa, dia terlalu takut.

*****

Hari hari berlalu, dan Keira semakin menutup diri dari dunia luar.

Setiap kali ada laki laki yang mencoba mendekatinya, tubuhnya menegang dan ia merasa seolah olah kembali ke masa lalu yang mengerikan itu. Suara tawa anak anak di sekolah yang biasanya membuatnya nyaman, sekarang terdengar jauh dan asing. Dia merasa terasing, bahkan di antara teman temannya.

Suatu malam, Keira kembali merasakan kesepian yang menyiksa. Di dalam kamarnya yang gelap, ia duduk di tepi tempat tidur, memandangi bayangannya sendiri di cermin. Wajahnya tampak lelah, dengan mata yang selalu sembab karena kurang tidur. Trauma yang dialaminya tidak hanya mempengaruhi hubungan sosialnya, tetapi juga kesehatannya secara keseluruhan.

"Kenapa aku harus ngalamin semua ini? Kenapa aku ngga bisa cerita ke siapa siapa?" Gumam Keira pelan sambil menahan air mata yang siap tumpah.

Dia menyandarkan kepalanya ke bantal dan memejamkan mata, berharap bisa bangun dari mimpi buruk ini. Tapi setiap kali ia bangun, kenyataan yang harus dihadapinya tetaplah sama, kesendirian, ketakutan, dan trauma yang tidak bisa hilang.

*****

Di sekolah, Cindy masih sering mencoba mendekati Keira, tetapi perasaannya yang tertutup membuat mereka semakin berjauhan. Cindy mulai bingung dan merasa kehilangan sahabatnya.

Di suatu kesempatan saat di kantin, Cindy mencoba sekali lagi berbicara dengan Keira.

"Kei, aku serius deh, kamu kenapa sih akhir akhir ini? Aku kangen ngobrol sama kamu kayak dulu." Cindy meletakkan sendoknya dan menatap Keira dengan tatapan penuh perhatian.

Keira hanya menatap kosong ke arah makanannya, tidak tahu harus menjawab apa. Di kepalanya, dia ingin berbicara, tapi lidahnya seolah terikat.

"Kamu ngga sendiri loh, Kei. Apa pun masalahnya, kamu bisa cerita ke aku," Cindy mencoba lagi, berharap Keira mau terbuka.

Namun Keira hanya bisa menggeleng pelan, tidak mampu mengucapkan satu kata pun.

"Oke... tapi kalau kamu siap cerita, aku selalu ada di sini ya," Cindy mencoba mengakhiri percakapan itu dengan nada lembut. Keira hanya tersenyum tipis, tapi hatinya masih penuh dengan luka yang belum sembuh.

Keira tahu bahwa dia tidak bisa selamanya seperti ini. Dia perlu mencari cara untuk menghadapi trauma ini, tapi dia juga tidak tahu dari mana harus memulainya. Hari hari berlalu, dan meskipun orang orang di sekitarnya mulai menyadari perubahannya, Keira tetap merasa sendirian dalam penderitaannya.

Jejak derita, harapan KeiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang