BAB 02 : Enam Tahun

26 3 1
                                    

Langkah kecil yang terkesan anggun dengan gaun formalnya, berjalan menuju taman mansion yang indah. Di usianya yang masih muda, enam tahun lebih tepatnya, Lyivenna dengan wajah tanpa ekspresinya menatap taman luas beragam bunga. Terus melangkah ke sebuah tempat yang dikelilingi oleh kaca, itu Rumah Kaca yang dibuat oleh Ayahanda Grand Duke kepada Ibunda Grand Duchess.

Langit-langit Rumah Kaca memancarkan sinar matahari yang lembut, menghangatkan suasana di dalamnya, sementara Lyivenna berdiri tegak, dengan tatapan kosong yang menyembunyikan kerumitan perasaannya. Hembusan angin seolah membawa aroma nostalgia yang tidak dimengertinya sepenuhnya. Ia merasa hampa, tetapi bahkan di usia semuda itu, ada ketenangan yang ia tunjukkan —sebuah kedewasaan yang aneh bagi seorang anak berumur enam tahun.

Bunga-bunga di sekitarnya mekar dalam keheningan, seolah tunduk kepada Putri sulung yang penuh misteri. Bayangan dirinya yang memantul di air danau hampir seperti versi lain dari dirinya —lebih nyata dari apa yang ia rasakan. Namun, ia tidak memahami kenapa hatinya selalu merasa seolah-olah ada sesuatu yang hilang, seperti potongan puzzle yang tak pernah lengkap.

Ketika dayang-dayang memanggilnya, suaranya terasa jauh dan asing. Satu tarikan napas dalam sebelum ia menjawab, "Oh.." Seakan tersadar dari lamunan yang dalam, namun di dalam dirinya masih ada sisa-sisa kekosongan yang tak terjelaskan.

Ketika langkah-langkah kecilnya menuju ruang kelas semakin dekat, Lyivenna merasa ada yang menahannya, meskipun tidak terlihat. Pintu besar di depannya tampak begitu dingin dan megah, memancarkan aura tanggung jawab yang terlalu berat untuk anak seusianya. Hentakan lembut tangan kanannya ke depan, sebagai tanda pengusiran dayang-dayang, adalah momen di mana ia mencoba mengambil sedikit kendali atas dunianya.

"Izinkan aku masuk sendiri." Katanya dengan nada tegas namun lembut, memperlihatkan sedikit perlawanan yang tersembunyi di balik sosok anggunnya. Dayang-dayang menunduk hormat dan pergi, meninggalkan Lyivenna dengan dunianya yang penuh tuntutan dan kesunyian yang meresap.

Lyivenna berdiri sejenak di depan pintu, menarik napas perlahan. Ia tahu bahwa di dalam ruangan itu, segala sesuatunya akan kembali menjadi tentang bagaimana ia harus bersikap, bagaimana ia harus melayani tuntutan tak terlihat dari takdirnya. Sambil merapikan sedikit gaunnya, Lyivenna melangkah masuk, meninggalkan bayangan dirinya yang terpantul di air danau tadi —bayangan yang terasa lebih bebas daripada dirinya yang sesungguhnya.

...

Lyivenna menatap pintu besar di hadapannya, sejenak merasakan beban yang tak sepadan dengan usianya. Di usianya yang baru enam tahun, ruang kelas bukan sekadar tempat belajar, melainkan panggung di mana ia harus memerankan sosok sempurna sebagai pewaris Kerajaan. Ia sudah terbiasa dengan perintah, harapan, dan tuntutan tanpa cela. Namun, setiap langkah menuju ruangan itu seperti mengingatkannya pada tembok yang kian hari kian tinggi di sekeliling dirinya.

Dengan hembusan nafas yang pelan, ia mendorong pintu itu. Di dalam, Guru Etika telah menunggu dengan senyum tipis, penuh wibawa. "Selamat datang, Putri Lyivenna. Kita akan memulai pelajaran hari ini tentang tata cara berbicara di hadapan bangsawan."

Lyivenna mengangguk kecil, menyembunyikan rasa jenuhnya di balik ekspresi tenang. Di setiap kelasnya, ia selalu menjadi murid yang paling beradab, paling sempurna. Namun, di balik sikap anggun itu, Lyivenna menyimpan kegelisahan—kerinduan pada kebebasan yang tak pernah benar-benar ia rasakan.

Guru Etika, seorang wanita dengan rambut disanggul rapi dan gaun elegan berwarna biru tua, duduk tegak di kursinya. Di depannya, meja kayu yang penuh dengan gulungan perkamen dan pena bulu angsa. Pemandangan ruangan itu menimbulkan suasana formal yang mengintimidasi bagi anak seusia Lyivenna, tetapi ia sudah terbiasa.

Butterflies of Labestia: The Heir's Final LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang