BAB 07 : Ulang Tahun Ketujuh

13 2 0
                                    

Malam itu terasa sunyi, hanya ada semilir angin dingin yang berhembus pelan, masuk melalui celah balkon yang terbuka. Lyivenna duduk bersandar pada pintu jendela besar di kamarnya, memandang jauh ke langit yang gelap, hanya ditemani oleh rembulan yang bersinar tinggi di angkasa. Tidak ada bintang di malam itu, seolah-olah langit ingin memberikan panggung hanya untuk rembulan yang bersinar sendiri, sama sendirian seperti dirinya.

Besok adalah hari kelahirannya. Ulang tahunnya yang ketujuh. Usia yang seharusnya penuh dengan keceriaan dan pesta perayaan, namun Lyivenna tahu, perasaan itu tidak akan hadir. Sebulan penuh setelah racun yang hampir merenggut nyawanya, ia menjalani hari-hari dengan beban yang tidak pernah mampu untuk diungkapkan, tidak pernah ia bagikan. Dia, sang penerud Labestia, sudah terbiasa menanggung semuanya sendirian, meski  dalam hatinya ada keinginan kecil untuk merasakan kebahagiaan —walaupun hanya sementara.

Ia menarik nafas panjang, merasakan udara dingin musim dingin yang menusuk kulitnya. Ulang tahunnya selalu jatuh di musim dingin, dan entah kenapa musim itu selalu terasa seperti cerminan dirinya. Dingin, sunyi, namun tetap bertahan dengan keindahannya sendiri.

Menatap langit yang tak berbintang, Lyivenna tersenyum tipis. "Mungkin malam ini hanya milik rembulan," Bisiknya pelan. Ada rasa penuh harap di hatinya, meski kecil, ia berharap bahwa besok akan ada sedikit kebahagiaan yang menghiasi ulang tahunnya. Ia tahu tuntutan menjadi penerus Kerajaan tidak akan memberinya banyak kelonggaran, namun satu hari... mungkin satu hari saja, ia bisa merasa bahagia.

Angin malam kembali bertiup, menggerakkan helai-helai rambut panjangnya yang jatuh di pundaknya. Lyivenna menutup matanya sejenak, menikmati momen tenang itu sebelum ia harus kembali dalam rutinitas yang tak pernah berhenti. Malam ini, di bawah sinar rembulan yang sepi, ia membiarkan dirinya menikmati sedikit kedamaian, menghibur dirinya sendiri dengan harapan yang sederhana.

"Besok... mungkin aku bisa merasakan sedikit kebahagiaan," Gumamnya, meski ia tahu betul, sebagai penerus Labestia, kebahagiaan seringkali hanyalah sebuah harapan yang jauh. Tapi untuk malam ini, ia membiarkan harapan itu hidup.

...

Dalam mimpi yang aneh dan penuh misteri, Lyivenna mendapati dirinya berada di sebuah tempat asing yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Langit di atas berwarna merah tua, dipenuhi kabut yang berkilauan samar seperti bintang yang menyala, namun semuanya terasa tidak nyata. Tanah yang ia pijak tampak seperti cermin berkilau, memantulkan cahaya rembulan yang sama peraknya dengan surai panjang Lyivenna.

Di tengah tempat itu, seorang nenek tua berdiri dengan jubah hitam yang berkilau seperti bintang di malam hari. Tampangnya menyerupai seorang peramal, dengan mata yang tajam namun dipenuhi kebijaksanaan yang mendalam. Nenek itu tersenyum, sebuah senyum yang memancarkan misteri sekaligus kehangatan.

"Ah, anak muda yang cantik... Kecantikanmu tiada batas, seperti sinar rembulan yang anggun. Tapi kecantikan itu juga bisa menjadi kutukan, bukan?" Ucap sang nenek, suaranya berat namun lembut, seolah datang dari kedalaman waktu itu sendiri.

Lyivenna terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ada sesuatu yang mengganggu dalam senyum nenek tua itu, seolah dia tahu sesuatu yang tidak diketahui oleh Lyivenna. Sang nenek mendekat, pandangannya menelusuri wajah Lyivenna dengan penuh perhatian, seolah ia sedang membaca sesuatu yang tersembunyi.

"Akan ada kebahagiaan yang harus dikorbankan. Memilih menetap atau pergi," ucap sang nenek tiba-tiba, suaranya penuh arti, namun kata-katanya terasa samar dan sulit dimengerti.

Lyivenna merasa bingung, pikirannya berkecamuk mencoba memahami maksud dari perkataan itu. "Kebahagiaan? Korban?" Gumamnya pada dirinya sendiri, merasa tidak mampu memecahkan teka-teki yang tersirat.

Butterflies of Labestia: The Heir's Final LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang