Tok! Tok! Tok!
Raya mendengar tiga kali suara ketukan dari pintu kosannya. Entah mengapa ia memiliki firasat kuat tentang itu.
"Ray.."
Panggilan dari arah luar membuat Raya tertegun, itu suara Laut. Tapi, untuk apa dia kemari?
Segera si cantik berdiri, memeriksa wajahnya di cermin dahulu kemudian berjalan membuka pintu.
"R-ray.." suara Laut bergetar memanggil namanya, senyum tipis ragu-ragu Laut berikan.
Raya tampak berusaha menahan kesedihannya, berusaha menahan rasa rindunya padahal ia ingin sekali memeluk tubuh laki-laki yang masih berstatus sebagai pacarnya itu. "Iya, kenapa kak?"
Raya menatap Laut dengan bingung. Udara malam yang dingin mengalir masuk melalui pintu yang setengah terbuka, membawa serta ketegangan di antara mereka. Sejenak, tidak ada yang berbicara. Hanya tatapan mata mereka yang saling bertemu, penuh pertanyaan yang tidak terucap.
Akhirnya, Laut membuka suara.
“Boleh kita keluar sebentar?” tanyanya pelan, suaranya serak, seperti sudah terlalu lama berpikir keras.Raya mengerjap, hatinya berdesir. Ia tahu ada sesuatu yang perlu dibicarakan, sesuatu yang sudah terlalu lama mereka hindari. Namun, luka di hatinya membuat ia ragu. Tapi meskipun sakit, entah kenapa ia tidak ingin menyerah pada hubungan mereka. Mungkin karena kenangan yang mereka miliki, atau mungkin karena ia masih terlalu mencintai Laut.
Setelah jeda yang terasa seperti seumur hidup, Raya mengangguk perlahan.
“Oke,” jawabnya singkat, suara yang nyaris berbisik.Laut memberi anggukan kecil, lalu berbalik berjalan lebih dulu menuju parkiran motor di depan kos. Raya mengambil jaketnya dengan gerakan lambat, berusaha menenangkan diri. Saat ia menyusul Laut, suasana di antara mereka terasa dingin, bahkan lebih dingin dari angin malam yang menyapu kulitnya.
Mereka tidak saling bicara selama perjalanan. Laut mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, sementara Raya duduk di belakang, menjaga jarak dengan sengaja. Biasanya ia akan memeluk punggung Laut dengan erat, tapi kali ini tangannya hanya diam di pangkuan, menggenggam erat ujung jaketnya sendiri.
Mereka tiba di sebuah taman kecil di pinggiran kota. Taman itu sepi, hanya diterangi beberapa lampu jalanan yang remang-remang. Laut mematikan mesin motor dan turun lebih dulu. Raya mengikutinya, menatap punggungnya yang tampak tegang.
“Kenapa kita di sini?” tanya Raya akhirnya, memecah keheningan yang semakin menyesakkan.
Laut menoleh ke arahnya, matanya tajam tapi juga penuh dengan keraguan.
“Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi aku tahu kita perlu bicara. Aku nggak bisa terus seperti ini, Ray,” katanya dengan suara rendah.Raya mendengarkan, tapi ia tetap diam. Suasana di antara mereka begitu canggung, seolah-olah mereka adalah dua orang asing yang dipaksa bertemu.
“Aku salah, Raya. Aku tahu itu,” lanjut Laut. “Aku... aku nyakitin kamu, dan aku nggak punya alasan yang cukup baik untuk ngebela diri.”
Kata-katanya menggantung di udara, membuat dada Raya semakin sesak. Ia ingin marah, ingin meneriakkan semua perasaannya. Tapi suaranya tertahan di tenggorokan.
“Jadi sekarang apa, Kak Laut?” akhirnya Raya berbicara, suaranya bergetar. “Kak Laut minta maaf, tapi apa artinya itu buat kita? Janji Kak Laut ke Arini... hubungan kita... semua ini, apa yang mau Kakak lakukan sekarang?”
Laut menunduk, mengambil napas panjang.
“Aku nggak tahu, Raya. Aku cuma tahu aku nggak mau kehilangan kamu.”Raya terkekeh pelan, suara yang penuh kepahitan.
“Kak Laut bilang nggak mau kehilangan aku, tapi Kak Laut nggak bisa lepas dari janji Kakak sama dia. Jadi aku ini apa, Kak Laut? Pelarian? Selingan? Atau cuma... adik tingkag gampang di manfaatin pas Kak Laut kesepian doang?”Laut mengangkat wajahnya, matanya menatap Raya dengan intens.
“Kamu bukan pelarian, Ray. Kamu orang yang aku sayang. Dan itu nggak pernah berubah, bahkan sekarang.”Tapi kata-kata itu tidak memberikan rasa lega. Sebaliknya, mereka justru menambah kebingungan di hati Raya. Ia mengalihkan pandangannya, menatap lampu jalanan yang temaram.
“Kalau Kak Laut sayang sama aku, kenapa Kak Laut nggak bisa pilih aku?” tanyanya lirih. “Aku jadi paham waktu Kak Laut bilang kalau Kak Laut jauh dari aku, aku harus narik Kak Laur supaya ada di sisi aku lagi. Tapi kayaknya sekarang nggak bisa, ya, Kak?”
Laut terdiam. Pertanyaan itu seperti tamparan yang tidak bisa ia elakkan. Mereka kembali terjebak dalam keheningan, hanya suara angin malam yang mengisi kekosongan. Suasana menjadi semakin canggung, semakin sulit untuk dipecahkan.
Raya memeluk dirinya sendiri, menahan dingin yang tidak hanya berasal dari cuaca, tapi juga dari kata-kata yang tidak pernah sampai. Ia menunggu jawaban, tapi tidak yakin apakah jawaban itu akan cukup untuk mengobati luka di hatinya.
"R-ray.. kita masih bisa sama-sama, kan?" Laut bertanya dengan nada yang nyaris tidak bisa keluar. Pertanyaan menyakitkan yang harus ia keluarkan
Raya menggeleng keras ketika Laut menarik tangannya untuk di genggam. "Enggak Kak, kita nggak bisa bertahan. Posisinya udah beda, Kak Laut nggak bisa lari dari janji Kak Laut sama dia, dan satu-satunya yang bisa kita lakukan sekarang adalah lepasin hubungan kita."
Genggaman tangan Laut pada tangannya, Raya lepaskan. Ia meraih wajah Laut, mengelus pelan wajah laki-laki itu. "Kak.. Aya sayang banget sama Kak Laut. Tapi mungkin kita memang nggak pernah di takdirkan."
Laut menarik Raya ke dalam pelukannya, sakit sekali mendengar Raya berkata demikian. Hingga tidak terasa air mata membasahi pipi Laut, ia terisak. Tidak pelan, isakan itu terdengar pilu.
Keheningan malam diisi oleh dua orang yang masih saling sayang tapi harus berpisah karna keadaan, bukan lagi suara Laut yang melontarkan kalimat-kalimat gombal, melainkan menjadi tangisan pilu. Bukan lagi suara celotehan Raya yang mengeluh tentang panasnya Kota Palu, melainkan tangisan Raya sama pilunya.
Yang patah hati bukan hanya Raya, tapi Laut juga.
Ehehehehe, belum ending kok guysss😭🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Lautan Raya
Fanfiction[NA JAEMIN, KIM MINJEONG STORY] Sebagai seseorang yang berada di dalam lingkup yang sama, tentu hal wajar jika terjadi yang namanya jatuh cinta. Kebiasaan selalu berada di sisi masing-masing sepanjang waktu menjadi pemicu rasa itu tumbuh, lalu merem...