☁️

86 12 16
                                    

Di desa kecil ini, di mana waktu seolah berjalan lebih lambat dari tempat lain, aku menjalani hari-hariku dengan sederhana. Lahir dan tumbuh di panti asuhan yang terletak di ujung desa, aku tak pernah benar-benar tahu seperti apa rasanya memiliki keluarga. Setiap pagi, kusambut mentari dengan harapan sederhana: mengumpulkan cukup uang untuk membalas budi pada panti yang telah membesarkanku.

Dulu, kupikir takdirku sudah tertulis dengan jelas. Aku akan menghabiskan seluruh hidupku di desa ini, bekerja serabutan dari fajar hingga senja, lalu suatu hari nanti mati dan dikuburkan di pemakaman desa yang selalu tampak sepi. Namun, takdir rupanya punya rencana lain - rencana yang membawaku bertemu dengannya.

Dia seperti matahari yang berdiri angkuh di cakrawala - begitu megah, begitu tidak terjangkau. Kata-katanya bisa selembut sinar mentari pagi yang menyusup melalui celah-celah daun, tapi bisa juga sepanas terik di musim kemarau yang membakar kulit. Sosoknya membuatku tak bisa berpaling, seperti bunga matahari yang selalu menengadah ke langit, mengikuti pergerakan sang surya.

Bagiku, dia adalah matahari dalam arti yang sebenarnya. Ketika aku tersesat dalam kegelapan kebimbangan, cahayanya menuntunku keluar. Saat aku kehilangan arah dalam labirin kehidupan, sinarnya menjadi kompas yang tak pernah salah. Di kala dinginnya kesepian menusuk tulang, kehadirannya menghangatkan jiwa yang beku. Dan senyumnya - ah, senyumnya seperti fajar yang menyingsing, mengusir gelap dan membawa harapan baru setiap harinya. Tapi dia, seperti matahari yang sesungguhnya, selalu tampak kesepian di singgasananya yang tinggi. Berdiri membelakangi dunia dengan tangan yang selalu tersilang di belakang punggung, seolah menantang siapapun untuk mencoba meraihnya. Senyum tipisnya menyiratkan penantian akan sesuatu - atau seseorang - yang bahkan dia sendiri mungkin tak yakin apa.

Dan di sinilah aku, tak pernah lelah mengulurkan tangan, mencoba meraih sosoknya yang begitu jauh. Setiap kali aku hampir menyerah, dia akan menoleh sedikit, memberikan secercah senyuman yang membuatku kembali jatuh dalam pesonanya. Mungkin ini yang dinamakan takdir - bahwa aku ditakdirkan untuk terus mencoba menggapai matahariku, meski tahu bahwa matahari tak pernah bisa digenggam.

Tapi bukankah itu yang membuat matahari begitu istimewa? Bahwa dia bisa menghangatkan kita tanpa perlu kita sentuh, menerangi jalan kita tanpa perlu kita dekati, dan memberi kehidupan pada dunia hanya dengan kehadirannya yang jauh namun konstan. Mungkin begitu pula arti kehadirannya dalam hidupku - sebuah cahaya abadi yang tak perlu kugenggam untuk bisa kurasakan hangatnya.












Utaite Fanfiction

Special Edition
Sunoctober

Main Pair
MafuSora

SUNNY SNOW

[ START ]

Sunny Snow  ||  MafuSoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang