35 8 21
                                    

Di jantung ibukota, arena koloseum ibukota Luminaria berdiri megah, membelah cakrawala dengan kemegahannya yang tak tertandingi. Struktur kolosal ini menjulang tinggi, dengan dinding-dinding marmer putih yang berkilau di bawah sinar mentari. Setiap batu yang menyusunnya seolah menyimpan cerita dan rahasia kuno. Gerbang utama arena terbuat dari perunggu masif, dihiasi ukiran-ukiran rumit yang menggambarkan pertarungan epik dan legenda-legenda kepahlawanan. Ketika gerbang ini terbuka, suara deritnya yang berat bergema ke seluruh penjuru, menggetarkan hati setiap orang yang mendengarnya.


Di sekeliling arena, patung-patung raksasa para Dewa berdiri tegak, seolah mengawasi setiap sudut dengan mata batu mereka yang dingin namun penuh wibawa. Patung-patung ini setinggi tiga puluh kaki, dipahat dengan detail yang menakjubkan dari batu granit abu-abu. Senjata mereka yang dilapisi berbagai jenis mineral berkilau tertimpa cahaya, menambah kesan agung dan sakral.


Tribun penonton membentang tinggi ke langit, membentuk lingkaran sempurna yang mengelilingi arena. Gradasi warna kursi dari bawah ke atas mencerminkan status sosial penontonnya - dari kayu sederhana di bagian bawah hingga kursi berlapis beludru dan emas di bagian atas. Kanopi-kanopi berwarna-warni membentang di atas beberapa bagian tribun, menambah keceriaan suasana.


Di tribun bawah, rakyat jelata berdesakan dengan penuh semangat. Pakaian mereka yang sederhana kontras dengan kemegahan arena, namun sorot mata mereka tak kalah berkilauan oleh kegembiraan. Para petani, pandai besi, dan pedagang kecil saling berbisik penuh antisipasi, menunggu pertandingan dimulai. Semakin ke atas, gradasi status sosial semakin terlihat jelas. Para saudagar kaya dan cendekiawan duduk dengan nyaman di kursi-kursi berlapis beludru, sementara para bangsawan tinggi menempati balkon-balkon pribadi yang dihiasi tirai sutra dan lambang keluarga. Aroma wewangian mahal mengambang di udara, bercampur dengan denting gelas-gelas kristal berisi anggur terbaik kerajaan.


Di puncak tribun, sebuah paviliun megah menjulang, dikelilingi oleh pengawal-pengawal bersenjata dalam baju zirah berkilau. Inilah tempat duduk keluarga kerajaan, dihiasi oleh kanopi emas dan permata yang memantulkan cahaya matahari bagai ribuan bintang. Raja dan Ratu duduk di singgasana kembar, mahkota mereka berkilauan, sementara para pangeran dan putri menempati kursi-kursi mewah di sisi mereka. Wajah-wajah bangsawan itu tenang dan anggun, namun mata mereka tak lepas dari arena di bawah.


Berada tepat satu lantai di bawah paviliun keluarga Raja, dua paviliun yang lebih sederhana dibangun khusus di sisi kiri dan kanan paviliun kerajaan. Untuk paviliun sebelah kiri diisi oleh para bangsawan yang mengisi posisi di pemerintahan, sedangkan di sisi kanan diisi oleh orang-orang yang berasal dari Kuil Unitas dengan sang Paus yang duduk di singgasana ditemani oleh Pastor dan Saint yang mengawalnya. Beberapa ksatria paladin memenuhi paviliun itu untuk mengawal ketiga tokoh sakral tersebut.


“Ini pemandangan yang langka, bukan? Karena biasanya rakyat biasa tidak bisa memasuki arena seperti hari ini,” ujar Shoose.


Mafu di samping kanannya mendengkus. “Itu hal yang wajar mengingat si jenggot dungu itu semakin berumur.”


Eve menggeleng kecil. “Kalau beliau sampai tidak membuka Arena ini untuk mereka, sudah pasti kerajaan akan mendapat kritikan pedas, kan? Bagaimanapun rumor mengenai Soraru sudah tersebar luas.”


“Semua manusia sangat peduli dengan citra mereka.” Mafu melirik ke paviliun atas. “Dan kita sudah memberi mereka cukup banyak wajah.”


Shoose tertawa kecil. “Tapi sepertinya para bangsawan itu juga punya masalah mereka sendiri. Kudengar ada beberapa keluarga yang pergi ke negara tetangga karena tertarik dengan menara sihir.”

Sunny Snow  ||  MafuSoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang