🌥️

45 9 24
                                    

Sinar matahari menembus awan-awan tipis yang berarak di langit biru, menciptakan bias cahaya keemasan yang menyinari puncak menara-menara putih yang menjulang tinggi. Di hadapan gerbang megah Gereja Suci, Soraru berdiri terpaku, kedua mata biru gelapnya membulat sempurna mencerminkan kekaguman yang tak terbendung. Jemari mungilnya yang gemetar tanpa sadar semakin erat mencengkeram ujung jubah milik Mafu yang benar-benar membawanya ke tempat yang selama ini hanya bisa ia lihat dari gambar buram buku lama di perpustakaan sederhana milik panti, yaitu Gereja Suci Unitas.

Gerbang utama gereja menjulang setinggi lima belas meter, terbuat dari logam putih berkilau yang diukir dengan detail rumit membentuk relief para malaikat dan simbol-simbol suci. Setiap ukiran seolah bernyawa, berkilau tertimpa cahaya matahari dan menciptakan pola-pola cahaya yang menari di atas tanah. Di kedua sisi gerbang, dua menara penjaga berdiri kokoh, dihiasi dengan patung-patung gargoyle yang seolah mengawasi setiap pendatang dengan mata batu mereka yang tajam.

"Ini ... terlalu hebat," bisik Soraru tanpa sadar, suaranya penuh kekaguman. “Ini nyata, kan?”

Mafu menahan tawa mendengar kepolosan dalam suara anak itu. Jubah putihnya yang panjang bermain ditiup angin lembut, menciptakan efek ethereal di sekeliling sosoknya yang tinggi semampai. Aura keemasan yang selalu menyelimuti sang Saint tampak lebih terang di bawah sinar matahari pagi, membuat beberapa daun yang terbang di dekatnya seolah berubah menjadi kepingan emas.

"Aku bisa menjitakmu kalau kamu masih merasa ini mimpi," ucap Mafu dengan suara yang terdengar bagai dentingan lonceng crystal. "Tapi, yah, saat itu aku juga tidak menyangka tempat ini akan dibangun terlalu megah."

“Tapi, tapi! Kata di buku, gereja Unitas adalah gereja yang dipercaya paling dicintai oleh para dewa karena kekuatan suci yang terpancar di seluruh gereja lebih jernih dibanding tempat lain!”

“Buku macam apa yang sebenarnya kamu baca?”

“Eh? saya lupa judulnya. Tapi saya ingat pernah membacanya, atau dibacakan, ya?” Soraru merenggut. “Ah, tidak tahu! Tapi saya ingatnya seperti itu!”

Mafu menggelengkan kepalanya, sudah malas membahasnya. “Omong kosong.”

Melangkah melewati gerbang utama, pemandangan yang menyambut mereka membuat napas Soraru tercekat. Jalan setapak dari batu pualam putih membentang lurus ke depan, diapit oleh deretan pohon cemara yang menjulang tinggi. Dedaunan cemara yang lebat menciptakan kanopi alami, menyaring cahaya matahari menjadi bias-bias kehijauan yang menenangkan. Di antara pohon-pohon, bunga-bunga kecil berwarna biru dan putih bermekaran, menguarkan aroma manis yang menyegarkan.

Yang paling menakjubkan adalah tujuh patung raksasa yang berdiri dalam formasi melingkar di sekeliling taman utama. Masing-masing patung setinggi sepuluh meter, dipahat dengan begitu detail dari marmer putih yang berkilau. Setiap patung menggambarkan sosok Dewa dan Dewi dengan pose yang berbeda-beda. Ada yang menghunus pedang ke langit, ada yang berlutut dalam pose memberkati, ada yang membentangkan menarik busur, dan juga menghunuskan tombak. Di bawah sinar matahari, patung-patung itu seolah memancarkan aura pelindung yang nyaris terasa fisik. Untuk sesaat, perhatian Soraru jatuh pada patung seorang Dewi yang menghunuskan dua pedang yang terselimuti pedang api yang berkobar.

“Kamu bisa membedakan mereka?” tanya Mafu tiba-tiba.

Tidak langsung menjawab, Soraru kembali menatap patung dewi dengan dua pedang yang berada di pojok kiri. “Apa itu patung Dewi Shitsu?”

“Benar.” Mafu menyunggingkan senyum. “Apa kamu mengenalinya karena rambut kalian sama?”

“Rambut?” Menyentuh rambut ikalnya, Soraru memerhatikan rambut Dewi Shitsu yang panjang tergerai di balik tudung. Kedua matanya membola tak percaya karena rambut Dewi Shitsu juga ikal seperti miliknya. “Apa jangan-jangan wajah saya juga?”

Sunny Snow  ||  MafuSoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang