Satu bulan berlalu dan serpihan salju pertama musim dingin mulai turun perlahan. Di depan gerbang megah kuil yang menjulang, Soraru mengamati dunia di hadapannya dengan mata yang masih menyisakan jejak kelelahan. Di hadapannya, arus manusia tak henti mengalir memasuki kuil. Para bangsawan dengan jubah sutra mereka yang berkilau keemasan berjalan anggun, sementara rakyat biasa dalam balutan pakaian sederhana namun rapi melangkah dengan penuh khidmat. Soraru mengamati bagaimana mata mereka semua berbinar dengan harapan yang sama – menghadap Saint di hari pemberkatan tahunan ini.
Namun, ada pemandangan lain yang menarik perhatiannya. Sekelompok anak-anak berkumpul membentuk barisan tersendiri, masing-masing menggenggam sebuah permen dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang memegang permennya seperti harta karun termahal di dunia, ada yang sesekali mencuri pandang ke arah permen temannya, dan ada pula yang terus menerus merapikan bungkus permennya yang sudah kusut.
Soraru menghela napas panjang, mengingat kembali kata-kata Eve yang terngiang di telinganya.
"Berpatroli di sekitar gereja sampai tahun baru," begitu perintah yang diterimanya.
Dalam benaknya, Soraru telah membayangkan dirinya akan melakukan patroli layaknya ksatria biasanya. Tapi kenyataannya, di sinilah dia berdiri, seperti penjaga gerbang biasa yang hanya bisa mengamati.
Lamunannya buyar ketika merasakan tarikan lemah di ujung jubahnya. Soraru menunduk dan mendapati sepasang mata besar berkaca-kaca menatapnya. Seorang gadis kecil, mungkin tak lebih dari lima tahun, berdiri dengan tubuh gemetar menahan tangis. Rambut biru gelapnya yang panjang terurai hingga punggung bergerak lembut tertiup angin, membingkai wajah mungilnya yang dipenuhi kesedihan.
Soraru berlutut, menyamakan tingginya dengan gadis kecil itu. "Ada apa?" tanyanya selembut mungkin.
"Permenku..." suara gadis itu bergetar, setetes air mata lolos dari sudut matanya. "Temanku... dia menukarnya dengan permen rusak saat aku tidak melihat. Tapi dia tidak mau mengaku." Isakan kecil mulai terdengar. "Padahal... padahal aku sudah menabung selama dua bulan untuk membeli permen ini. Tuan Saint tidak akan menerima permen yang bukan dibeli dengan uangku sendiri, kan?"
Hati Soraru mencelos mendengar pengakuan polos itu. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati para jemaat dewasa yang membawa berbagai macam persembahan yang menyesuaikan kesanggupan masing-masing. Mereka yang dari kalangan bawah akan membawa kantong perak, buah-buahan, dan roti sebagai barang yang paling mahal. Sedangkan para bangsawan membawa kantong-kantong uang yang gemuk, perhiasan yang berkilau tertimpa cahaya matahari, dan hadiah-hadiah mahal lainnya. Sementara anak-anak, yang masih terlalu muda untuk menghasilkan uang dalam jumlah besar, diminta membawa permen sebagai persembahan mereka.
"Bagaimana kalau kita beli permen baru?" usul Soraru, tangannya terulur untuk mengusap air mata yang mengalir di pipi gadis kecil itu.
Gelengan kepala yang dia terima membuat hatinya semakin berat. "Aku sudah tidak punya uang lagi," isak gadis itu. "Setiap koin yang kudapat dari membantu ibu merajut... semuanya sudah kugunakan untuk membeli permen ini. Ibu bilang... ibu bilang ini akan jadi persembahan pertamaku pada Tuan Saint."
"Boleh aku melihat permennya?" tanya Soraru lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunny Snow || MafuSora
Short Story☀️ Utaite Fanfiction☀️ Special Edition [ Sunoctober] Ada banyak kisah di sebuah perjalanan. Namun, perjalanannya hanya mengisahkan seseorang. Utaite Fanfiction Main Pair : MafuSora ©All right received ©Original story by me, iyey :V