32 8 31
                                    

Fajar baru saja merekah di ufuk timur, menciptakan semburat merah keemasan yang memantul di jendela-jendela kristal Akademi Ksatria Unitas. Soraru, dengan nafas terengah dan peluh yang membasahi rambutnya yang segelap malam, berlari melewati lorong-lorong akademi yang masih lengang. Seragam putih dengan aksen emas yang dikenakannya sedikit kusut karena tergesa-gesa. Sepatu boots dari kulit itu mengetuk lantai marmer dengan irama cepat.


"Aku tidak boleh terlambat, tidak di hari pertama!" gumamnya pada diri sendiri, menggenggam erat pedang kayu yang tersampir di pinggangnya.


Akhirnya, setelah melewati taman mawar perak yang menjadi kebanggaan akademi, Soraru tiba di sebuah area yang berbeda dari bagian akademi lainnya. Lapangan khusus itu dikelilingi dua belas pilar putih setinggi lima belas meter yang masing-masing memiliki ukiran berbeda, merepresentasikan dua belas elemen dasar dalam sihir. Barrier magis tak kasat mata menyelubungi area ini, menciptakan ruang latihan yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki izin khusus. Begitu kakinya melangkah melewati barrier, Soraru langsung merasakan energi magis yang sangat kuat di udara Namun, perasaan takjubnya harus terhenti ketika dia menyadari dua pasang mata yang menatapnya dengan ekspresi berbeda.


Naruse berdiri dengan angkuh di tengah lapangan. Seragamnya yang sama dengan Soraru terlihat jauh lebih mewah dengan tambahan ornamen-ornamen emas yang menunjukkan status sosialnya. Di sampingnya, seorang anak laki-laki berambut cokelat hanya melirik sekilas dengan ekspresi tak acuh. Dari pakaian dan postur tubuhnya yang tegap, Soraru bisa menebak bahwa dia juga berasal dari kalangan atas.


"Bi-bisa-bisanya kamu ada disini?! Kamu, kan, cuma rakyat jelata!!"


Soraru menghela napas dan terkekeh. "Mau bagaimana lagi. Tuan Saint yang membawaku kemari."


"Apa? Tuan Saint?" Naruse mendecih, suaranya penuh penghinaan. "Mengkhayal juga ada batasnya, sialan. Tuan Saint bahkan tidak bisa ditemui oleh Raja sekalipun kalau tidak ada janji temu. Menjemputmu? Hah! Leluconmu bahkan tidak lucu!"


Daripada terkejut dihina sebagai pembohong, Soraru justru tercenung dengan kenyataan yang baru saja dia dengar. Untuk sekian kali hatinya diselimuti oleh kekaguman pada eksistensi seorang Saint yang begitu dihargai dan dipuja di seluruh dunia.


Tapi tetap saja, yang kulihat dia itu hanya om-om nyebelin, gerutu Soraru dalam hati.


"Yasudahlah, kalau mengiyakanmu bisa membuatmu tutup mulut aku tidak keberatan dibilang pembohong," balas Soraru tenang.


Namun justru sikap tenang Soraru membuat amarah Naruse semakin tersulut. Wajahnya memerah karena marah, merasa diremehkan. "Dasar tidak tahu diri!!"


Naruse melangkah maju dengan cepat, kepalan tangannya terangkat tinggi siap menghantam wajah Soraru. Udara di sekitar tangannya mulai berpendar kemerahan, tanda dia tanpa sadar mengaktifkan sihir apinya karena emosi.


"Selamat pagi, para calon Yuusha kecil."


Suara dalam dan tenang itu membekukan gerakan mereka. Tanpa suara langkah sedikitpun, seorang pria tinggi dengan seragam prajurit elit berwarna hitam dengan aksen merah telah berdiri di belakang Soraru. Rambut merah kecoklatannya bergoyang terhempas angin seiras dengan anting perpaduan bintang dan bulan sabit di telinga kanannya. Mata tajam sewarna surainya itu memancarkan wibawa seorang veteran medan perang.

Sunny Snow  ||  MafuSoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang