🌩️

63 12 20
                                    

Langkah dari sepasang kaki kecil beralas sandal rajut jerami itu sedikit terhuyung. Mengerahkan seluruh tenaganya, anak kecil bersurai biru ikal itu menggendong keranjang setinggi badannya. Memanggul tiga ikat tebal rumput hijau hasil pangkasnya di hutan kaki bukit. Sesekali menyeka keringat dengan bahunya, anak kecil itu mempercepat langkah saat matanya telah melihat pucuk bangunan tinggi dari wilayah peternakan kandang sapi. Menemukan satu dua anak seusianya datang dengan memanggul barang yang sama, manik biru gelap itu sedikit berkilat sebelum kemudian mendengkus pelan. Tampak sudah masa bodoh dengan anak-anak itu untuk sebuah alasan.


Tiba sebagai anak yang terakhir, anak rambut biru itu menurunkan keranjangnya begitu memasuki pintu depan kandang dan mau tak mau menyaksikan dua anak yang datang sebelumnya diomeli oleh pria tinggi dengan poni miring ke kanan mengenakan topi kulit berwarna coklat. Kacamata bundar yang pria itu kenakan sedikit merosot akibat wajahnya yang mengerut marah.


"Sudah berapa kali kubilang jangan asal membawa rumput! Lihat punyamu ini, astaga! Jelek! Jelek sekali kualitasnya!!" Hardik pria itu, si pemilik peternakan, Halyosy.


Dua anak itu merunduk sedih dan berbalik pergi dengan wajah sendu. Jelas saja, siapa juga yang tidak sedih kalau usaha mereka hanya dibayar dua perak. Memalingkan matanya, anak rambut biru itu berusaha untuk tidak terlihat jahat di depan anak-anak itu karena dia membawa rumput yang kualitasnya jauh lebih bagus.


Kalau dua anak tadi juga bakal kena omel, pasti pemilik akan lebih mengandalkanku. Jahat, sih, tapi mau bagaimana lagi, cari uang memang harus seperti ini, pikir anak itu.


Baru anak itu akan menyeret keranjangnya, Halyosy mendatanginya dengan wajah sumringah. "Akhirnya kamu tiba, Soraru!"


Anak rambut biru itu membungkuk dalam. "Pagi, pak!"


"Hoho~! Lihat betapa hijau rumput yang kau bawa! Darimana kau dapatkan kali ini?" Halyosy mengecek isi keranjang Soraru sembari mengusap-usap ujung rumput.


"Saya memangkas rerumputan di dekat kaki bukit. Kakak panti bilang tumbuhan di sekitar kaki bukit sedang subur-suburnya. Mungkin karena hujan yang sejak kemarin terus mengguyur puncak bukit."


"Begitu rupanya. Kamu tidak pernah mengecewakanku. Ini! Kunaikkan upahmu dua kali! Bekerjalah lebih keras!"


Menerima 7 koin perak, manik biru tua itu berbinar cerah. "Te-terima kasih banyak!"


"Setelah ini kamu mau kemana?"


"Saya akan pergi ke toko tenun Bibi Hanatan."


"Begitukah? Rajin sekali kamu. Hei, kau! Ambil roti sisa di kantin dan berikan padanya!" Seru Halyosy pada salah satu bawahannya.


Menerima dua potong roti, anak bernama Soraru itu memakan roti tersebut sembari berjalan menuju tempat kerja selanjutnya. Selagi berjalan, anak laki-laki itu mengedarkan pandangannya. Memandangi lalu-lalang warga desa yang tenang dan membosankan seperti biasanya.


Soraru mengenal tempat kelahirannya ini sebagai desa kecil bernama desa Tomur. Desa yang terletak di kaki bukit yang menjulang tinggi ini seolah tersembunyi dan terlupakan oleh waktu. Mungkin karena desa ini sangat jauh dari hiruk-pikuk ibukota, kedamaian yang dimiliki desa ini tampak seperti jenis kedamaian yang akan begitu dirindukan oleh jiwa-jiwa lelah oleh modernitas dan padatnya kehidupan yang mencekik tanpa tahu waktu.


Meski ada banyak deretan rumah-rumah di sepanjang jalan, namun hal itu tidak menghalangi pemandangan yang hijau membentang sejauh mata memandang. Pepohonan rimbun dibiarkan dengan sengaja untuk menaungi jalan-jalan setapak yang berkelok-kelok, sementara padang rumput luas menjadi tempat bermain anak-anak desa dengan riang, otomatis menjadi lapangan alami. Udara segar dan bersih mengisi paru-paru, membawa aroma khas alam yang begitu menenangkan. Saking nyamannya suasana di desa ini, Soraru tidak boleh lengah sedikitpun atau dia mungkin malah akan berbelok ke pematang rumput untuk bermain.

Sunny Snow  ||  MafuSoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang