06. Sayatan Pisau

28 19 0
                                    

"Jangan takut untuk bermimpi besar, karena mimpi-mimpi itu adalah awal dari segala sesuatu yang luar biasa."—Shaga Arsenio.

___

Perjalanan panjang dan melelahkan yang mereka lalui akhirnya berakhir di depan gerbang rumah Shaga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perjalanan panjang dan melelahkan yang mereka lalui akhirnya berakhir di depan gerbang rumah Shaga. Rumah itu bagaikan istana, menjulang gagah di tengah hamparan kebun yang terawat rapi. Namun, malam telah menyelimuti segalanya. Pagar kayu yang tinggi dan kokoh, dihiasi ukiran rumit terlihat samar dalam kegelapan. Gerbang besi yang berat, dihiasi ornamen-ornamen klasik, menyerap cahaya bulan yang redup.

Di balik gerbang, sebuah jalan setapak yang dihiasi batu-batu bulat berlumut menuntun mereka ke dalam kegelapan. Pohon-pohon rindang yang menjulang tinggi di kiri dan kanan jalan, menghilangkan sedikit cahaya yang tersisa. Hanya suara gemercik air mancur yang terletak di tengah taman yang memecah kesunyian malam.

Mereka melangkah perlahan, hati-hati agar tidak tersandung batu-batu yang tersembunyi dalam gelap. Di ujung jalan, sebuah bangunan megah dengan arsitektur klasik menanti, terlihat samar dalam cahaya bulan. Jendela-jendela berbingkai kayu yang tinggi dan lebar, menawarkan pemandangan taman yang gelap gulita.

“Kita sudah sampai,” ucap Shaga.

Shaga menarik gagang pintu kayu yang berat. Bunyi berderit nyaring menyertai gerakannya, menciptakan gema menyeramkan di rumah yang sunyi. Pintu berayun perlahan, menyingkap ruangan gelap yang tersembunyi di baliknya. Cahaya bulan redup menembus jendela kaca patri berdebu, menampilkan bayangan-bayangan bunga menyeramkan yang menari-nari di dinding.

“Sepertinya mama belum pulang.” Dia berjalan ke arah jendela, menarik tirai yang terbuat dari kain beludru berwarna cokelat tua. Gelap menyelimuti luar rumah, hanya cahaya bulan yang menembus awan yang menutupi langit. Dia menatap ke luar, mengamati parkiran yang sepi di depan rumah. Mobil milik mamanya ternyata tak ada, dia baru menyadarinya karena tadi memarkirkan mobil di depan pagar.

Sebuah senyum mengembang di bibirnya. Mamanya biasanya sudah pulang pada jam ini. Shaga merasa malam ini terasa lebih bebas tanpa mama di rumah. Dia bisa melakukan apa saja yang dia inginkan tanpa harus menuruti aturan-aturan yang dibuat oleh mamanya. Dia bisa menyelami buku-buku kedokteran, menelusuri misteri tubuh manusia, dan mencari jawaban atas  pertanyaan-pertanyaan yang mengantarkannya pada mimpi menjadi dokter.

Shaga mengalihkan pandangan pada makhluk asing yang kini berada di sampingnya. Tatapannya yang tajam tertuju pada sosok berjubah hitam yang  berdiri tegak. Seolah menunggu takdir yang akan menimpanya. Wajah iblis itu tersembunyi di balik bayangan tudung, hanya sepasang mata merah menyala yang menatap kembali ke arah Shaga.

Shaga mulai mengambil peralatan-peralatan kedokterannya. Dia memeriksa setiap alat dengan saksama, memastikan semuanya siap untuk menangani luka-luka mengerikan yang menghiasi tubuh iblis itu. Tangannya bergerak dengan gesit, mengambil gunting bedah, pinset, dan jarum jahit dengan presisi. Dia tahu bahwa setiap gerakannya harus tepat dan terukur, karena dia sedang berhadapan dengan makhluk yang jauh berbeda dari manusia biasa.

Luka Jubah Putih Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang