09. Diajak?

23 18 0
                                    

"Hidup terlalu singkat untuk minum kopi yang hambar. Lebih baik minum teh, tapi jangan terlalu banyak, nanti kebelet pipis."—Shaga Arsenio.

___

Hujan semakin deras, menghantam bumi dengan kekuatan yang tak terhentikan, menyatu dengan kesedihan yang merendam hatinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hujan semakin deras, menghantam bumi dengan kekuatan yang tak terhentikan, menyatu dengan kesedihan yang merendam hatinya.  Di tengah gemuruh air yang membasahi tubuhnya, dia merasakan bisikan lembut, seakan berasal dari dalam jiwanya, sebuah pertanyaan yang menggugah kesadarannya.

“Apa kau benar-benar ingin menghilang? Larut dalam kesunyian ini, menjadi bagian dari alam yang dingin dan basah, dan melupakan semua yang pernah kaurasakan?” Dia berhenti sejenak, mengangkat wajahnya, menatap ke luar jendela, di mana petir menyambar dengan keganasan, mencerahkan sekejap langit yang kelam, dan kemudian menghilang, meninggalkan kegelapan yang lebih pekat.

Kenangan-kenangan pahit berputar di pikirannya, seperti pusaran air yang tak henti-hentinya, menyeretnya ke dalam jurang keputusasaan. Akan tetapi, bisikan itu terus bergema. “Lihatlah di sekelilingmu, di tengah hujan yang tak henti-hentinya, di antara tetesan air yang menghantam bumi dengan kekuatan,  carilah keindahan. Keindahan tersembunyi di balik kesedihan, seperti bunga kecil yang tumbuh di sela-sela batu, dia tetap bertahan, menyerap air hujan yang menetes, mencari sinar matahari yang tersembunyi di balik awan gelap.”

Dengan ragu, Shaga menoleh, mencari keindahan yang tersembunyi di balik kesedihan. Di antara tetesan hujan, di sela-sela batu yang dingin dan basah, dia melihat sebuah bunga kecil yang tumbuh dengan tegar. Bunga itu tampak lemah,  batangnya tipis, kelopaknya kecil, tetapi tetap bertahan, menyerap air hujan yang menetes, mencari sinar matahari yang tersembunyi di balik awan gelap.

“Jika bunga ini bisa bertahan, mengapa aku tidak?” pikirnya.

Pertanyaan itu seakan-akan embun pagi yang menyegarkan jiwa, menjadi titik balik dalam perjalanan hidupnya. Di tengah kesedihan yang terus menjadi bayang-bayang benaknya, dia menyadari bahwa kehidupan itu bak aliran sungai yang tak henti-hentinya, masih menawarkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Bunga kecil yang tumbuh di tempat yang tak terduga, seolah-olah terlahir dari keajaiban, menjadi simbol harapan yang menyala, menerangi jalan yang gelap dengan cahaya lembutnya.

“Kau mungil dan rapuh, tapi kau tetap berdiri tegak, menentang angin dan hujan. Kau mengajarkanku bahwa bahkan dalam kegelapan, ada kekuatan untuk tumbuh,” ujar Shaga.

Hujan deras mengguyur taman, airnya membasahi kelopak bunga yang terkulai lemas. Malam gelap menyelimuti, hanya sesekali kilat menyambar, menerangi taman dengan cahaya putih yang menyilaukan.

Bunga itu, bak permata tersembunyi di taman hijau, tak bersuara. Kelopaknya seperti beludru lembut, terlukis dengan warna-warna surgawi, menyapa langit dengan diam. Ia tak menjawab, tetapi dalam bisunya, ia berbisik tentang keindahan alam yang tak terlukiskan, tentang rahasia kehidupan yang tersembunyi di balik kelopaknya yang halus. Namun, tak mampu menjawab pertanyaan yang terlontar dari bibir manusia yang penasaran.

Luka Jubah Putih Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang