"Aku merasa seperti kapal kecil yang terombang-ambing di lautan luas tanpa arah, diterjang badai nestapa tanpa ada pelabuhan tempat berteduh, seolah dunia ini hanya menyisakan kehampaan untukku." —Shaga Arsenio.
___
Tinta biru tua, bak langit senja yang meredup, perlahan mengering di atas kertas, menandai akhir dari sebuah kisah yang telah lama bersemayam dalam jiwa Shaga. Dengan napas lega, ia meletakkan pena, matanya tertuju pada rangkaian kata yang terukir di atas lembaran putih. Seolah-olah sebuah beban telah terlepas dari pundaknya, Shaga bangkit dari mejanya, langkahnya ringan dan penuh harap. Ia menuju kamar mandi, sebuah ruangan kecil yang selalu menjadi tempat perenungan, di mana pikirannya dapat berkelana bebas. Di sana, di tengah uap hangat yang menyelimuti tubuhnya dan aroma sabun yang lembut, ia siap untuk membasuh lelahnya, membersihkan diri dari sisa-sisa tinta dan cerita yang telah tertuang di atas kertas. Mandi, baginya, adalah sebuah ritual, sebuah kesempatan untuk kembali ke dirinya sendiri, untuk merasakan kesegaran dan ketenangan sebelum memulai perjalanan baru dalam dunia imajinasinya.
Air hangat membasahi tubuhnya, perlahan-lahan melepaskan ketegangan yang terpendam di setiap otot. Shaga memejamkan mata, menikmati sensasi air yang mengalir lembut di kulitnya. Rasanya seperti sebuah pelukan, sebuah bisikan lembut yang menenangkan jiwa. Di tengah uap yang mengepul, pikirannya melayang, kembali ke cerita yang baru saja selesai ditulisnya. Ia membayangkan tokoh-tokohnya, merasakan emosi mereka, mendengar suara mereka yang berbisik di telinganya.
Namun, di tengah lamunannya, sebuah pertanyaan muncul di benaknya. Apakah cerita ini sudah cukup? Apakah ia telah berhasil menyampaikan pesan yang ingin ia sampaikan? Apakah ia telah memberikan akhir yang memuaskan bagi para pembacanya? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, mengusik ketenangan yang baru saja ia temukan.
Shaga membuka matanya, menatap bayangan dirinya di cermin. Wajahnya tampak lelah, namun matanya berbinar dengan semangat baru. Ia tahu bahwa perjalanan menulisnya belum berakhir. Masih banyak cerita yang ingin ia ceritakan, masih banyak pesan yang ingin ia sampaikan, dan mandi ini, baginya adalah awal dari sebuah perjalanan baru, sebuah kesempatan untuk menemukan inspirasi baru, untuk melahirkan cerita-cerita yang lebih indah dan bermakna.
Waktu berlalu, diiringi alunan melodi air yang menenangkan dan aroma sabun yang membuai, hingga Shaga akhirnya memutuskan untuk meninggalkan pelukan hangat kamar mandi. Uap yang menyelimuti tubuhnya perlahan mencair, seperti mimpi yang memudar di pagi hari, digantikan oleh kesegaran udara yang terasa seperti embun pagi. Ia keluar dari ruangan kecil itu, langkahnya ringan dan penuh harap, siap untuk menapaki jalan baru dalam perjalanannya.
“Seolah terlahir kembali,” bisiknya, menghirup udara yang terasa seperti embun pagi.
Shaga kini hanya berbalut handuk putih yang lembut, seperti awan yang menyelimuti tubuhnya. Kain itu terikat erat di pinggangnya, membiarkan tubuhnya merasakan kehangatan dan kelembutan setelah terendam dalam air hangat. Rambutnya masih meneteskan bulir-bulir air, seperti tetesan embun pagi yang jatuh dari kelopak bunga, kulitnya terasa lembut dan segar, seolah baru terlahir kembali dari rahim bumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Jubah Putih
FantasíaShaga Arsenio, pemuda penuh semangat yang bercita-cita menjadi seorang dokter. Namun, impiannya terbentur oleh keinginan orang tuanya yang sukses di dunia korporat. Mereka menginginkan Shaga meneruskan bisnis keluarga. Terjebak di tengah kemewahan...