"Aku tak habis pikir mengapa manusia modern memilih aplikasi kencan. Bukankah lebih romantis menelusuri lorong-lorong toko kelontong, lalu berharap menemukan jodoh di antara rak-rak penuh dengan kebutuhan sehari-hari?"—Shaga Arsenio.
___
Mobil hitam Shaga meluncur di jalanan yang diselimuti kegelapan malam. Beberapa menit telah berlalu sejak dia meninggalkan tempat itu, meninggalkan suasana yang terasa begitu berat di belakangnya. Lampu jalan yang remang-remang hanya mampu menerangi sebagian kecil jalan di depannya, membuat bayangan panjang yang menari-nari mengikuti mobilnya. Angin malam berdesir, membawa aroma tanah basah dan daun-daun kering yang terbawa angin. Shaga menekan pedal gas, pikirannya melayang ke berbagai hal yang terjadi, mencoba memahami makna di balik kejadian yang baru saja dia alami.
Pertanyaan itu bergema di dalam dirinya. “Apakah mereka benar-benar menganggapku sebagai teman? Atau hanya sekadar teman sejawat yang kebetulan berada di lingkaran pertemanan mereka? Apakah aku benar-benar diterima dengan tulus, atau hanya dianggap sebagai pelengkap yang bisa diabaikan begitu saja?” Rasa keraguan itu mulai menggerogoti hatinya, menumbuhkan benih ketidakpastian yang perlahan-lahan mulai merambat ke seluruh pikirannya.
Dia baru saja bergabung dengan Jovita dan Syahirah, meskipun mereka menyambutnya dengan hangat, ada sedikit keraguan yang menggerogoti hatinya. Dia melihat bagaimana mereka saling bercanda, berbagi cerita masa lalu, dan saling memahami dengan cara yang tidak bisa dia rasakan. Apakah dia akan selamanya menjadi orang asing di tengah mereka, seorang pengamat yang hanya bisa mendengarkan tanpa benar-benar menjadi bagian dari mereka?
Shaga menghela napas, mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran negatif itu. Mungkin dia hanya terlalu sensitif, perlu lebih banyak waktu untuk mengenal mereka. Lagi pula, Shaga baru saja bertemu dengan mereka di awal semester ini. Dia harus memberi kesempatan untuk mengenal dirinya lebih baik.
Shaga melirik ke arah dashboard mobilnya. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam, dan ia masih berada di jalan tol. Dia menekan pedal gas, mencoba untuk mengabaikan pikiran-pikiran yang mengganggu. Namun, bayangan keraguan itu masih menghantuinya, dia berharap bisa menemukan cara untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa memang diterima di kelompok pertemanan itu dan bukan hanya seorang pengamat yang terlupakan.
Shaga menarik napas dalam-dalam, udara dingin malam terasa menusuk paru-parunya. Dia berusaha untuk menenangkan diri, meredakan gelombang keraguan yang menggulung hatinya. Dia akan berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, membiarkan pikiran-pikiran negatif itu terbawa oleh angin malam. Fokus pada perjalanan pulang, deru mesin mobil yang menemani langkahnya, dan membiarkan waktu yang akan menjawab pertanyaan yang menggerogoti hati, yang tak kunjung terjawab, dan hanya bisa dijawab oleh waktu.
“Tenang, Shaga. Jangan biarkan pikiran-pikiran itu menguasai dirimu, mencengkerammu, dan menghanyutkanmu ke dalam jurang keraguan,” bisiknya pada diri sendiri, seolah-olah mencoba meyakinkan dirinya dan meredam gelombang ketakutan yang mulai menguasai hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Jubah Putih
FantasiaShaga Arsenio, pemuda penuh semangat yang bercita-cita menjadi seorang dokter. Namun, impiannya terbentur oleh keinginan orang tuanya yang sukses di dunia korporat. Mereka menginginkan Shaga meneruskan bisnis keluarga. Terjebak di tengah kemewahan...