02. Pembunuhan

47 26 5
                                    

"Awan mengapung indah di langit biru. Melewati hari yang akan datang, yang perlu kita lakukan hanyalah tersenyum sepanjang hari dan menyimpan harapan di dalam hati kecil, apa pun itu agar mempunyai tujuan setiap harinya."
Shaga Arsenio.
____

Beberapa saat berlalu, Shaga sampai di depan gerbang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beberapa saat berlalu, Shaga sampai di depan gerbang. Malam itu, udara dingin menusuk tulang, membuat tubuhnya sedikit menggigil. Celana hitam dan kemeja putih yang dikenakannya tampak serasi. Ia berjalan menuju ruangan Pak Mahen, seorang dosen senior yang ingin berjumpa dengannya.

Shaga mengetuk pintu kayu tua itu dengan perlahan, tangannya sedikit gemetar. Jantungnya berdebar kencang, seakan-akan ingin menerobos keluar dari rongganya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Shaga Arsenio, dari jurusan kedokteran." Ia menyebutkan identitasnya, berharap hal itu akan membantunya untuk memasuki ruangan di balik pintu itu.

Kampus itu sunyi, hanya diiringi oleh desiran angin malam yang dingin menusuk tulang. Cahaya lampu jalan yang remang-remang menerangi lorong kosong, udara dingin membuat bulu kuduknya berdiri. "Masuk saja, pintunya tidak dikunci."

Shaga yang mendengar ucapan dari dosennya, langsung menarik gagang pintu dan membukanya dengan perlahan-lahan. Udara dingin dari luar bercampur dengan aroma kertas tua di dalam ruangan itu. Ia melihat Pak Mahen masih mengenakan kemeja putih berkancing, seperti saat mengajar di kelas, tetapi tampak lebih lelah. Rambutnya yang lurus berwarna hitam keputihan terlihat sedikit berantakan, seolah-olah ia baru bangun dari tidur. Di ruangan itu, tak ada yang lain selain mereka berdua.

"Izin bertanya, Pak. Apa yang dimaksud dengan pembunuhan yang ada sangkut pautnya denganku?" tanya Shaga.

"Begini cerita lengkapnya. Saya sewaktu perjalanan pulang tak sengaja bertemu dengan saudara lelakimu yang tengah termenung di tengah taman bermain, tempat biasa anak-anak bercanda tawa di sana. Namun, saya tak tahu apa yang membuatnya menjadi seperti itu, tapi saya melihat di sisinya ada dua ekor anjing iblis, saya yakin itu salah satu kekuatan dari saudaramu. Mereka berbulu hitam legam, matanya berbinar-binar dengan cahaya merah yang menyeramkan, dan taringnya tajam bak belati. Saya melihat ada banyak bekas tusukan di tubuhnya, seolah-olah dia telah mengalami pertempuran yang sangat keras. Akhirnya saya memilih untuk menghampirinya dan bertanya, 'ada apa? Mengapa kondisimu seperti ini?' dia tak menjawab, matanya kosong dan tatapannya jauh menatap ke arah yang tak terlihat."

Shaga meresapi kata-kata yang diucapkan oleh Pak Mahen, matanya menyipit tajam seolah-olah berusaha menembus ke dalam makna di balik frasa 'anjing iblis'. "Anjing iblis? Aku tak tahu saudaraku memiliki kekuatan seperti itu," gumamnya pelan, suara serak seperti pasir yang tergerus angin.

"Apakah kau yakin dia benar-benar memiliki kekuatan yang mampu mengendalikan makhluk-makhluk seperti itu?" Raut wajah Shaga berubah, dia mengerutkan keningnya, seperti berusaha memahami pernyataan Pak Mahen. Mata Shaga berkedip-kedip, mencari jawaban di balik kata-kata Pak Mahen yang terkesan samar.

Luka Jubah Putih Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang