Adel rasa malam ini dia sedang tidak waras. Karena entah bagaimana bisa dia menyetujui ajakan Javier untuk makan bersama. Yang lebih tak masuk akal lagi, ternyata Javier membawa Adel makan di warung kaki lima, di tepi jalan yang banyak sekali kendaraan melintas dan juga orang-orang yang memenuhi tempat itu.
Adel duduk dengan gelisah, menatap sekeliling dengan tatapan tak nyaman.
Debu jalanan, asap rokok dari pengunjung, suara berisik dari para pengamen, semua itu membuat Adel merasa risih. Seorang laki-laki datang menghidangkan dua piring nasi, tiga ayam bakar, dua mangkuk kecil sambal berwarna hitam, dan dua gelas es teh.
Ada juga dua mangkuk berisi air yang ketika Javier mencuci tangannya di dalam mangkuk itu, Adel tidak bisa menyembunyikan kernyitan jijik di raut wajahnya.
"Makan, Adelia." Ujar Javier yang sudah lebih dulu menikmati hidangan di hadapannya dengan menggunakan tangan. Adel hanya diam selagi mengamati Javier. Lelaki itu tampak makan dengan sangat lahap, sesekali berdecap, seolah sangat menikmati apa yang sedang dia makan. Apa lelaki ini tidak takut sakit perut kalau makan di tempat kotor seperti ini? Tanya Adel di dalam hati.
Adel masih terus mengamati Javier saat lelaki itu melirik padanya. Menyadari jika sejak tadi Adel tak mau menyentuh hidangan di hadapannya, bahkan kedua tangannya saja pun seperti enggan menyentuh permukaan meja, Javier terkekeh geli. "Aku udah ratusan kali makan di tempat seperti ini, dan belum pernah sakit perut apa lagi keracunan." Kata Javier. Kemudian dia mendorong gelas milik Adel. "Sesekali kamu juga harus mencoba makanan rakyat kecil seperti aku, Adelia."
Adel berdecih. "Rakyat kecil yang sering keluar masuk kelab malam maksud kamu?"
Javier hanya tersenyum miring. Namun kepalanya mengangguk ke arah gelas, sekali lagi menyuruh Adel untuk minum. Sayangnya Adel menggelengkan kepala. "Aku nggak haus."
"Bukan karena takut sakit perut?" kedut menyebalkan di sudut bibir Javier membuat Adel ingin sekali menyiram minuman itu ke wajahnya.
Karena kesal Javier terus-terusan meledek, maka dengan gerakan kesal, Adel menyentuh sedotan dengan tangan, lalu membiarkan es teh itu mengalir di tenggorokan meski wajahnya tampak seperti ketakutan. Bahkan Adel sampai memejamkan mata kuat-kuat.
Tawa Javier terdengar, Adel membuka mata dengan cepat dan melihat lelaki itu sedang menertawai dirinya. "Gimana rasanya? Nggak jauh beda sama teh yang ada di rumah kamu, kan?"
Adel memberenggut masam. Jelas saja rasanya berbeda. Teh di rumahnya jauh lebih nikmat, namun Adel juga tidak menampik jika es teh yang baru saja dia minim ini pun rasanya lumayan enak.
Tapi kotor, kan?
Adel melirik gelasnya dengan tatapan cemas.
Dan hal itu disadari oleh Javier yang menggelengkan kepala geli. Dasar anak orang kaya, dengus Javier di dalam hati. "Minumnya udah, sekarang makanannya. Ayo, kamu harus coba."
"Nggak."
"Takut keracunan?""Aku nggak lapar."
"Oh..." Javier mengangguk-angguk, namun Adel tahu kalau lelaki itu sedang meledek. Tapi untuk kali ini, Adel tidak mau terpancing. Demi Tuhan, dia tidak mau membiarkan nasi dan ayam bakar itu masuk ke dalam perutnya lalu keesokan hari, Adel harus menderita karena diare.
Maka setelah itu, yang Adel lakukan hanya mengamati Javier yang tampak makan dengan sangat lahap. Javier sampai menghisap bumbu-bumbu yang menempel di jarinya, membuat Adel tak henti-hentinya mengernyit. Seumur hidup, Adel tidak pernah makan nasi menggunakan tangan. Dan dia selalu merasa risih melihat orang lain makan dengan cara seperti itu di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Forbidden
RomanceAdel tidak pernah tertarik dengan urusan asmara. Karena sejak kecil, Papinya sudah menyatakan dengan tegas kalau Adel hanya bisa menikah dengan lelaki pilihan Papinya. Sampai suatu ketika Adel bertemu dengan Javier, lelaki pembuat onar yang senang s...