Alma bilang, melihat pemandangan dari puncak gunung sangat menyenangkan. Tadinya Adel percaya, tapi setelah dia berada di setengah perjalanan menuju puncak gunung, Adel mulai meragukan apa yang Alma katakan. Demi Tuhan, kedua kaki Adel rasanya sakit sekali. Adel luar biasa lelah dan berkeringat. Belum lagi jantungnya yang berdegup takut saat menemukan binatang dari berbagai jenis apa pun yang berada di sekitarnya atau menempel di sepatunya.
Rasanya Adel ingin sekali menangis jika saja tidak ada Javier di dekatnya.
Semakin jauh berjalan, Adel semakin meragu untuk melanjutkan perjalanan. Dia sering kali menoleh ke belakang, seolah ingin kembali pulang. Apa lagi jika berpapasan dengan rombongan yang sedang turun gunung. Tapi menyadari kalau perjalanannya juga sangat jauh, di mana tidak ada mobil apa lagi supir yang bisa menjemputnya seperti biasa, Adel hanya mampu menggigit bibirnya pelan sembari menahan tangis.
"Kenapa?"
Suara Javier yang bertanya membuat Adel mengerjap cepat lalu kembali menatap ke depan.
"Nggak apa-apa." Jawab Adel singkat.
"Capek?" Javier menghentikan langkah, lalu menghampiri Adel yang juga berhenti di tempatnya.
Tak sanggup menjawab, Adel hanya menggelengkan kepala dengan perasaan yang semakin sedih. Andai saja ada Papinya, Adel yakin Papinya akan melakukan seribu cara untuk membawa Adel pulang.
Kangen rumah... batin Adel sedih.
"Kita istirahat sebentar kalau gitu." Ujar Javier. Sepertinya dia menyadari gelagat Adel yang tidak biasa. Javier membawa Adel ke sebuah tempat, membantu Adel melepaskan tas, lalu membimbing Adel agar duduk di atas tanah.
Tapi saat tahu akan duduk di atas tanah, Adel malah tubuhnya dan mengerjap risih.
"Di sini nggak ada sofa empuk seperti yang ada di rumah kamu, Adelia." Gumam Javier. "Duduk aja. Kakinya jangan di lipat."
Adel menatap Javier lama, kemudian melirik tanah yang dilapisi dedaunan. Tanah itu kering namun dalam bayangan Adel, tanah itu dipenuhi oleh hal-hal kotor yang membuatnya meneguk ludah susah payah.
Tapi mau bagaimana lagi, Adel memang butuh mengistirahatkan kedua kakinya, kan. Jadi dengan sangat terpaksa dan juga sambil mengerutkan dahi menahan risih, Adel akhirnya duduk di sana.
Melihat itu, Javier menggelengkan kepalanya pelan. Kemudian dia mengeluarkan botol mineral dari tas Adel, lalu menyerahkannya pada gadis itu. Adel minum sambil memukul-mukul kakinya pelan dengan kedua tangan.
"Ini," Javier memberikan sebungkus cokelat pasta pada Adel. "lumayan bisa naikin mood kamu."
Lagi-lagi Adel menerima apa yang Javier berikan tanpa sepatah kata. Lalu Adel mulai menikmati cokelat pasta itu. Javier benar, semakin lama Adel menikmati cokelat pasta itu, perasaan sedihnya semakin berkurang.
Javier duduk di dekat telapak kaki Adel. Dia meneguk minumannya sambil menatap sekeliling. Kemudian dia memandangi kedua kaki Adel lalu bertanya. "Kakinya masih pegal?"
Adel melirik, lalu mengangguk sekedar.
"Mau aku bantu pijatin?"
"Hm?"
"Ini pertama kalinya kamu naik gunung, dan selama ini kamu jarang melakukan aktivitas yang berat seperti ini. Aku tahu gimana kondisi kaki kamu sekarang." Javier tersenyum jail, "sedikit pijatan aku pikir lumayan membantu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Forbidden
RomanceAdel tidak pernah tertarik dengan urusan asmara. Karena sejak kecil, Papinya sudah menyatakan dengan tegas kalau Adel hanya bisa menikah dengan lelaki pilihan Papinya. Sampai suatu ketika Adel bertemu dengan Javier, lelaki pembuat onar yang senang s...