Bab 3: Pergeseran Medan

24 10 18
                                    

Bab 3: Pergeseran Medan


“Tidak ada rahasia dalam perang. Itu adalah ujian keberanian, ketangguhan, dan strategi.” -- Sun Tzu

Pasukan Ukraina memberikan perlawanan terbatas karena tidak dilengkapi dengan persenjataan yang memadai. Selain itu, banyak dari mereka adalah prajurit wajib militer yang belum pernah terlibat dalam pertempuran sebelumnya, menambah kerentanan mereka di medan perang. Setelah baku tembak dan pertumpahan darah yang sengit, Bandara Hostomel akhirnya jatuh ke tangan pasukan Rusia. Serangan dan pengeboman terus berlanjut, memperparah kehancuran di sekitar wilayah tersebut. Dengan dikuasainya bandara, pertempuran mulai bergeser ke pusat kota Hostomel. Alasan Rusia mengambil bandara ini karena, bandara ini memiliki segudang fasilitas dan landasan panjang yang sangat cocok untuk dijadikan markas militer. Jika Rusia menguasai bandara, maka ribuan pasukan dapat diterbangkan menggunakan pesawat dan mendarat di bandara yang hanya berjarak sekitar 20 kilometer dari ibu kota Kyiv.

Hancur adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi Bandara Antonov Gostomel atau Bandara Hostomel. Bekas landasan pacu, yang dulu menjadi tempat pesawat-pesawat terbang, kini dipenuhi serpihan besi dan puing-puing yang berserakan. Asap hitam dari kebakaran masih meninggi ke langit, menutupi sebagian besar pandangan. Gedung terminal kini menjadi reruntuhan porak-poranda, dengan jendela-jendela yang pecah dan dinding-dinding yang berlubang akibat ledakan-ledakan.

Jejak pertempuran masih jelas terlihat di sekitar bandara. Darah yang sudah mengering menandai lokasi-lokasi bentrokan sengit yang baru saja terjadi. Kendaraan-kendaraan militer Rusia, mulai dari tank hingga truk lapis baja, terparkir di berbagai titik strategis, menjadikan bandara itu sebagai pangkalan sementara.

Para tamtama berpatroli di sekitar, mengikuti rute patroli yang telah ditetapkan, dengan senjata siap di tangan. Beberapa di antara mereka terlihat bercengkrama satu sama lain, mencoba mencairkan suasana setelah ketegangan pertempuran. Medan dinyatakan aman untuk sementara, karena pertempuran baru saja selesai. Romanov, sebagai kapten, berkeliling untuk mengecek kinerja pasukannya. Matanya tajam, memastikan tidak ada kelalaian dan semua orang tetap waspada meski situasi sudah lebih tenang.

Tovarisch Kapten!” panggil salah satu prajurit.

Romanov menaikkan alisnya setelah mendengar suara yang familier itu. Dia menoleh, melihat Volkova— salah satu anggota dari kompi yang ia pimpin. Volkova tersenyum tipis. “Kelihatannya menanggung beban banyak, kenapa? Memikirkan Letnan?” godanya. Volkova memang salah satu prajurit yang paling banyak berbicara dan bercanda di luar misi. Mencoba meretakkan Romanov yang kaku adalah hobinya, bisa dibilang.

“Apa?” jawab Romanov dengan nada rendah, kemudian berjalan mendekati Volkova.

“Tidak, tidak,” ucap Volkova, masih dengan nada bercanda.

“Terserahlah.”

“Tenang, Kapten! Letnan Zurislav sudah dibawa tim medis, tadi aku melihat dirinya saat dipindahkan ke kendaraan medis.”

Sekilas, ekspresi Romanov tampak lega. “Ya.”

Setelah ekspresi lega itu muncul di wajahnya, Romanov kembali pada sikapnya. Dia melirik Volkova sebentar sebelum kembali memandang area di sekeliling bandara yang hancur. “Jaga posisimu, Volkova,” ucap Romanov dengan nada tegas, mengakhiri percakapan.

Ia mulai berjalan menjauh. Di kejauhan, seorang Sersan, salah satu anggota peleton 3 yang tersisa, mendekat. Romanov melihatnya dan menghentikan langkah. “Tovarisch Kapten.” Sersan memberikan hormat singkat.

“Area sisi barat sudah diperiksa oleh tamtama. Tidak ada tanda-tanda musuh. Kami menemukan beberapa kendaraan Ukraina yang hancur. Bisa jadi mereka mundur sebelum para tamtama datang."

Romanov mengangguk. “Bagus. Selalu ada kemungkinan mereka kembali dengan bala bantuan.” Dirinya berbalik, kemudian menarik napas panjang, menatap langit. Pikirannya melayang kepada seseorang, kelihatannya. Langkah kakinya berlanjut menuju pos komando sementara yang dibangun di dekat terminal yang hancur.

“Kapten Romanov,” sapa seorang Mayor, komandan yang lebih tinggi, saat Romanov memasuki pos.

“Situasi aman, Tovarisch Mayor. Area ini sudah dikuasai. Tidak ada tanda-tanda musuh, namun kita harus waspada untuk kemungkinan serangan balasan.”

Mayor mengangguk. “Kita baru menerima laporan bahwa pasukan Ukraina mulai mengukuhkan kekuatan mereka di pusat Hostomel. Sepertinya mereka bersiap mempertahankan wilayah. Perintahnya adalah mempertahankan bandara ini dan harus bersiap untuk pergerakan ke kota.”

Romanov menyipitkan matanya. “Jika maju ke kota, kita membutuhkan pasokan tambahan dan pasukan yang lebih banyak. Dengan kondisi seperti ini, mempertahankan posisi sudah menantang.”

“Benar. Tetapi ini perintah dari atasan, kita menunggu perkembangan.”

Sementara itu, pertempuran semakin memanas di kota-kota lain seperti Kyiv, Kharkiv, dan Odesa, memaksa pasukan Ukraina bertahan dan melawan dengan segala sumber daya yang mereka miliki.

Di Kyiv, perlawanan sengit terjadi. Di Kharkiv, Rusia menggunakan artileri berat dan serangan udara untuk menghantam posisi kunci, pengeboman berat di area perumahan dan fasilitas publik terjadi, termasuk serangan rudal di pusat kota yang menyebabkan korban sipil. Pertempuran di Berdyansk, sebuah kota pelabuhan penting di Laut Azov, difokuskan pada penguasaan pelabuhan, serangan laut dan darat berulang kali terjadi. Chernihiv, yang terletak di utara Kyiv, menjadi lokasi pertempuran brutal dengan banyak korban sipil karena Rusia menargetkan infrastruktur vital. Di Odesa, sebagai pelabuhan utama di Laut Hitam, serangan rudal dan pengeboman dari laut dilakukan oleh Rusia, tetapi operasi pendaratan amfibi sejauh ini berhasil dicegah oleh pertahanan udara Ukraina. Kota Sumy menjadi garis depan pertempuran karena lokasinya berbatasan Rusia.

***

3 Maret 2022. Pasukan Rusia melakukan pengeboman terus-menerus, menyebabkan warga Hostomel kehilangan pasokan air, makanan, dan obat-obatan. Memang, dari awal, warga sipil selalu terkena dampak. Bahkan saat penyerangan bandara pun, warga sipil dieksekusi hanya karena alasan sepele. Kejam, tetapi begitulah kenyataannya.

Sinar pagi hari menyapa, menampakkan suasana kota di tengah pertikaian hebat, tank tersebar di segala penjuru dan amunisi berserakan. Asap dari peperangan tidak pupus, tiang listrik dan pagar terlihat ambruk. Jalanan terlihat sangat kotor dan bangunan yang runtuh di mana-mana. Romanov memindai jalanan kosong yang hancur, pikirannya terfokus pada misi, sampai suara serangan udara yang mengarah ke pemukiman memecah keheningan. Seorang gadis remaja terpental dengan beberapa warga sipil lainnya, tubuhnya terseret ke tanah. Romanov terpaku sejenak. Napasnya tertahan selama beberapa detik saat dia memperhatikan mereka, tak tahu apa yang harus dia lakukan.

Posisi Romanov berada di belakang peleton, dia memastikan seluruh peleton atau kompi beroperasi sesuai rencana, dia harus bisa berkoordinasi dengan perwira bawahan, seperti Letnan yang memimpin peleton.  Romanov yang terpaku sejenak akhirnya tersadar oleh suara perintah dari radionya. Dia segera menarik napas dalam-dalam, pemandangan anak kecil dan warga sipil yang terluka itu mengganggu konsentrasinya. Dia harus menjalankan misi dan tidak boleh terganggu. Dengan suara serak dan berat, Romanov memberi perintah kepada pasukannya untuk melanjutkan maju. Sesaat kemudian, dia memalingkan pandangannya dari korban dan menatap ke arah pemukiman yang terus diserang, merasa terjebak antara tugasnya dan kemanusiaan.

Kemudian, gadis yang terkena oleh serangan udara itu berdiri. Jika dilihat dari tampangnya, dia berusia 18 tahun. Tangannya bergetar dan sorot cemas terlihat di matanya. Sebelum dia dapat berlari dan menjauhi medan perang, sebuah peluru melesat ke arah kepalanya

The Thin Line of Duty Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang