Bab 6: Hubungan Mereka

18 8 19
                                    

Bab 6: Hubungan Mereka

“Perang adalah permainan yang dimainkan oleh orang-orang yang tahu bahwa setiap langkah adalah taruhan yang tinggi, tetapi mereka tetap melangkah dengan kekuatan penuh.” -- Napoleon Bonaparte

Erangan kesakitan keluar dari mulut Yuri saat dia berjalan terhuyung-huyung dengan bantuan temannya yang bertugas di kota yang sama: Kyiv. Cairan merah gelap kerap mengalir dari lengannya. Napasnya tak beraturan, rasa pusing menyerangnya, langkahnya semakin lemah, beruntung ada lengan yang melingkar di punggung Yuri.

“Sial, sial! Ayolah,” gumam prajurit di samping Yuri saat merasakan tubuh Yuri semakin melemah di lengannya.

Yuri menggertakkan giginya. “Tidak seburuk itu ..., kau terlalu khawatir, Zarid,” bisiknya.

“Tutup mulutmu.”

Reruntuhan terus mereka melewati saat mereka ingin menuju bangunan yang cukup jauh dari zona pertempuran. Mereka berusaha bergerak di bawah bayang-bayang pada malam hati, agar tidak terdeteksi oleh musuh. Hingga, suara nyaring menarik perhatian mereka. Kepala mereka dengan otomatis menoleh ke sumber suara. Rudal! Rudal telah diluncurkan. Namun, setelah melihat lokasi penyerangan, mata Yuri melebar.

“Zarid ...! Itu pusat perbelanjaan yang digunakan warga sipil untuk berlindung.”

Pusat Perbelanjaan Retroville, mal 10 lantai itu runtuh dalam hitungan detik setelah dihantam rudal pada malam hari. Bangunan beton yang dulu kokoh kini berubah.. Mobil-mobil yang diparkir di luar mal meledak satu per satu, melengkapi pemandangan kehancuran total. Toko-toko dan restoran yang sebelumnya penuh kehidupan lenyap di bawah runtuhan.

Yuri bergumam, “Mereka juga menyerang warga sipil?” Tubuh Yuri semakin melemas.

Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan pihaknya melancarkan serangan karena pusat perbelanjaan itu digunakan sebagai kedok untuk menyimpan dan mengisi ulang amunisi, termasuk peluncur roket ganda BM-21 Grad, oleh Angkatan Bersenjata Ukraina. 8 orang tewas, termasuk warga sipil.

Mereka melanjutkan perjalanan. Bangunan yang dituju kini semakin dekat. Tanpa peringatan, kaki Yuri terlepas dari tanah dan tubuhnya terjatuh dengan lemas ke belakang. Insting protektif Zarid segera muncul, dia mengencangkan cengkeraman pada punggung Yuri. “Yuri?! Tetaplah bersamaku!” Kepala Yuri terkulai di bahu Zarid, perlahan menutup matanya.

Bangunan aman yang dijadikan pos medis, sudah di depan mata. Zarid kemudian melingkarkan tangan Yuri ke bahunya. “Bertahanlah, Liev masih ingin melihatmu kembali.”

***

Pada 2020, ketegangan tetap tinggi dengan serangan sporadis di wilayah Donbas, yang dikuasai oleh separatis pro-Rusia. Pasukan Ukraina berusaha mempertahankan wilayahnya sambil menghadapi dukungan militer Rusia untuk pemberontak. Situasi ini terus memanas dengan serangan balasan dan mobilisasi pasukan di kedua belah pihak. Pada saat itu, hubungan Liev dan Yuri tidak lebih dari sekedar teman seangkatan.

Kendaraan tempur bergerak pelan di tengah malam yang sunyi, suara deru mesin nyaris menjadi musik pengantar tidur, kendaraan itu menuju ke perbatasan timur yang terbakar dan terus memanas. Yuri duduk dengan tenang, pandangannya kosong menatap ke luar jendela. Di sebelahnya, Liev mulai merosot pelan, bahunya menyentuh Yuri tanpa disadari. Pada awalnya, Yuri tidak memperhatikan, tetapi ketika kepala Liev akhirnya jatuh ke bahunya, Yuri menoleh.

Liev benar-benar tertidur lelap, napasnya pelan dan teratur. Bagi Yuri, momen itu terasa ganjil— bagaimana seorang prajurit yang dikenal serius dalam pertempuran, bisa terlihat begitu damai dalam tidurnya. Yuri tersenyum kecil, menghela napas, membiarkan Liev tertidur di bahunya. Di tengah-tengah perang dan kekacauan, momen kecil ini terasa seperti jeda, memperingatkan bahwa mereka masih manusia dengan kebutuhan sederhana.

“Aneh. Tidur di mana saja seperti kucing ...,” gumam Yuri saat melihat tubuh Liev yang tak bergerak.

Salah satu prajurit berdehem. “Tidak mudah untuk membangunkan anak itu.”

“Tentu saja, karena dia bermimpi indah gara-gara betapa nyamannya bersandar di bahu Yuri,” imbuh Zarid dengan nada bercandanya.

Yuri menahan senyum, merasa sedikit kikuk dengan suasana yang mulai mengarah padanya. “Ah, kasihan, bahuku pasti terlalu keras untuknya,” ujarnya sambil mengangkat bahu pelan, mencoba menyembunyikan kegugupannya.

Salah satu prajurit lain menepuk bahu Yuri, tertawa. “Oh, jangan rendah diri, Yuri. Mungkin Liev merasa aman di situ. Bisa jadi ini permulaan sesuatu yang lebih manis, eh?” Tawa ringan pecah kembali, dan Yuri hanya bisa menggelengkan kepala, mencoba mengalihkan perhatian dari godaan itu.

Setelah kendaraan berhenti dan menandakan mereka telah sampai, Yuri dengan canggung menggeser posisinya, lalu menatap ke Liev, yang masih tampak damai. “Bangun, Kucing.” Yuri mulai mengguncang lengan Liev.

Liev membuka matanya dan melihat sekitar, mata para prajurit tertuju padanya dengan senyum licik. Pipinya memerah, beruntungnya, masker yang ia gunakan dapat menutupi itu.
“Hey, Kucing, ayo berdiri,” ajak Yuri.

“K-Kucing?” Liev mengulangi.

Sejak saat itu, Yuri dan Liev memulai berkenalan dan saling mengetahui satu sama lain, membentuk hubungan yang kuat, hingga mendapat julukan ‘pasangan’.

***

L

iev yang baru saja terbangun, memandang jauh ke arah horizon dari jendela setelah menatap sekitar. Dia masih terlihat linglung dan mengedipkan mata beberapa kali. Kemudian, dia sedikit meregangkan ototnya dari rasa pegal setelah tertidur dalam posisi duduk yang tidak sebentar.

“Selamat datang kembali ke kehidupan, Kucing,” sapa Volkova, yang pertama kali menyadari bahwa Liev terbangun.

Volkova mengangkat alisnya setelah memahami ekspresi suram Liev. “Ada apa?”

Kenangan akan masa-masa lebih sederhana muncul kembali, saat mereka masih bertugas dengan semangat dan harapan. “Aku ingat saat-saat itu,” kata Liev, suaranya pelan dan penuh rasa nostalgia. “Ketika semuanya terasa lebih ringan, tanpa beban yang menggerogoti hati kita.”

Fyodor, yang bersandar pada dinding, menatapnya dengan tatapan serius. “Ya, hari-hari yang lebih sederhana. Sekarang kita terjebak dalam rutinitas tanpa akhir. Setiap pertempuran yang kita hadapi, setiap kehilangan yang kita rasakan, seolah tak ada habisnya.”

Salah satu tentara lainnya, dengan suara lemah, menambahkan, “Aku hanya ingin pulang. Ketika semua ini berakhir. Ini bukan seperti yang aku bayangkan. Perang ini lebih kejam daripada yang kita duga.”

Keheningan menyelimuti mereka, menggantikan tawa dan candaan yang lewat. Mereka semua merasakan kelelahan yang mendalam, baik secara fisik maupun emosional. Setiap dari mereka menginginkan kehidupan yang lebih baik, jauh dari suara tembakan dan bayang-bayang kematian yang menghantui mereka setiap hari.

Romanov menatap teman-temannya, sebagai kapten, jelas dia tidak ingin pasukannya kehilangan semangat, walaupun dia tampak abai dan cuek. “Kita akan pulang. Kita hanya perlu bertahan sedikit lebih lama.” Namun, di dalam hatinya, dia juga mulai meragukan seberapa lama lagi mereka bisa bertahan.

“Tatapanmu lebih dalam, Liev. Memikirkan seseorang?” Fyodor bertanya penasaran.

Sebelum Liev dapat menjawab, Volkova dengan mulutnya yang tak pernah berhenti mengoceh, memotongnya. “Siapa lagi jika bukan Yuri? Pasti sedang khawatir.”

Liev memelototi Volkova, tetapi tak bisa menyangkalnya. “Ah ....”

The Thin Line of Duty Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang