Prolog

57 13 90
                                    

Setiap sudut ruangan terpasang lampu remang yang sengaja dinyalakan oleh pemilik restoran saat seseorang yang ditunggu-tunggu kehadirannya datang dengan melanggak-lenggokan badan.

Riuh siulan dari mereka saling bersahut-sahutan, apalagi si perempuan yang mengenakan pakaian hampir menerawang di atas lutut, menampakkan kulit putih pucatnya di tengah kegelapan.

Suara gema dj musik perlahan mulai dibunyikan, decitan lirih begitu memekakkan telinga. Namun, mereka sangat menikmati.

"Berdiri, oi!" suruh salah seorang laki-laki yang mengenakan jaket berbahan jeans.

Namun, temannya tidak menghiraukan, tetap melamun, seakan-akan teriakan darinya ataupun dj yang mulai menggema tidaklah terdengar.

"Woi! Cepet udah mulai."

Bukannya menjawab, laki-laki yang sedari tadi duduk pun pada akhirnya berdiri tegap. Rambut legamnya yang kacau dan berantakan semakin menawan ketika dipandang. Temannya mengukir senyuman sempurna.

"Nah gitu dong. Ayo!" Tangan yang sudah mengambang di belakang punggung tegapnya kembali dikucilkan. Laki-laki itu pergi melenggang keluar dengan langkah yang begitu jenjang.

"Eh? Malah keluar si bodo'," gerutunya dengan nada khas medoknya.

"Woi!"

Teriakannya diabaikan. Laki-laki itu terus keluar hingga sampai di pintu utama. Namun, langkahnya terhenti tatkala penjaga restoran menghadang.

"Sial!" rutuknya dalam hati.

"Mohon maaf, anda tidak bisa keluar dari sini sampai acara selesai. Mohon untuk kembali ke tempat," suruh penjaga sopan.

Laki-laki itu tak peduli, tetap berjalan maju walaupun penjaga mulai mendorongnya—sopan.

"Mohon maaf anda tidak bisa keluar begitu saja. Acara belum selesai," ujarnya mengulang. Helaan napas kasar dari laki-laki itu terdengar.

"Bapak siapa, hah? Bukan yang punya acara, kan?" tanya laki-laki dengan suara meninggi.

Belum menjawab pertanyaan darinya, seseorang lain berlari dari arah belakang. Penjaga tersebut melongok sekejap.

"Eh, Pak, maaf, boleh lah kasih kita keluar," ucap laki-laki tadi yang mengenakan jaket jeans. Penjaga restoran tetap diam memberi tatapan tajam.

"Lo juga ngapain, sih? Buruan masuk lagi, dah, acara belum selesai."

"Minggir!" desis laki-laki itu menyingkirkan temannya yang mulai geram. Namun, lagi-lagi dihadang oleh penjaga setempat, kali ini dua orang telah bersiap jaga.

"Kalian mau minggir atau gue pinggirin?"

"Kalau anda tidak mau menuruti, kami juga tidak segan untuk menarik anda untuk kembali."

Laki-laki itu terkekeh hambar, sudah bersiap jika kedua orang yang di hadapannya akan memaksa.

"Udahlah, lo masuk aja. Bentar lagi acaranya selesai. Lo mau rusakin suasana?" ucap temannya mengusulkan.

~|•|~

Laki-laki itu pergi beranjak ke toilet. Tidak sudi sekali jika mengikuti dan mendengarkan acara yang begitu memuakkan. Entah apa yang dilakukan, laki-laki itu malah melompat keluar melalui belakang restoran.

"Nggak sudi gue ngikutin acara lo!"

Bergegas dirinya ke area parkiran motor. Buru-buru menyalakan mesin, memakai helm dan melaju pesat ke bahu jalan.

Langit malam sekarang ditemani oleh cahaya bulan dan bintang sebagai penerang. Sorot lampu kendaraan juga ikut menerangi jalanan. Laki-laki itu membelai jalan dengan kecepatan sangat pelan untuk ikut merasakan angin yang terus berhembus.

"Gue mau ketemu, tapi bukan dia, tapi kamu."

Laki-laki itu menggumam. Motor yang berjalan lambat mulai mengitari sekeliling berkali-kali, dirinya tidak menyadari bahwa motornya yang masih berjalan seorang diri.

"Kamu di mana sekarang?"

Larut dalam lamunan, hingga sorot menyilaukan mulai mendekat. Laki-laki itu belum menyadari sama sekali. Masih menarik gas motor melaju pelan ke area tepi. Netra hitamnya sempat melirik ketika lampu kendaraan lain mulai memenuhi penglihatan dan menghantam dirnya keras dari arah berlawanan.

Brakk

Motor terpelanting jauh ke sisi jalan. Sedangkan pengemudi yang menaiki terguling cepat ke tengah hingga berakhir berhenti saat helm yang dikenakan membentur zebra cross dengan keras.

"Arghhh...."

Laki-laki itu merasakan pening yang menjalar dengan hebat pada kepala, selain itu sesuatu yang basah mulai mengalir membasahi dahi serta pelipisnya. Menarik helm sendiri pun kesusahan bukan main.

"K-kapanpun itu, a-kku tetap akan mengingatmu."

Tubuh yang terbalut jaket hitam serta helm yang senantiasa belum dilepas, bercampur darah yang mengucur begitu deras. Laki-laki itu telentang sendiri di tengah jalan, sungguh pasrah keadaan jika nanti kendaraan lain menabraknya ataupun melindas. Kedua matanya perlahan tertutup sempurna sampai guncangan badan dari seseorang tidak merasakannya lagi.

♡´・ᴗ・'♡

piw piw piw piw
holaaa selamat datang di cerita pertama yang aku buat

•• gimana nih sama prolognya??

masih penulis pemula dan perlu banyak belajar, saling support yuk,

terimakasih sudah berkenan untuk mampir luvvvv 🙏💕

_ bagian tempat bumi, 3 Oktober 2024

Senandika ZensiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang