Chapter 20: Salah Paham

166 25 11
                                    

Cakra terkesiap begitu Niklas berdiri tepat di belakangnya, memegang pergelangan tangannya dengan sangat kuat sembari memberikan tatapan maut. Anya berakting seolah Cakra baru saja hampir membunuhnya, padahal menyentuhnya saja pun tidak. Memang cewek hobi playing victim!

"Lo pengen apain cewek gue?"

"Ni-Niklas?"

"Ahh... Aduh, sakit banget ay..." Anya memegangi pipinya, membuat kedua mata Cakra terbelalak. "Cakra kok lo tega sih..." sambungnya, Niklas pun semakin menguatkan cengkeraman tangannya, alhasil lengan Cakra sakit dibuatnya.

Sungguh, andaikan waktu benar bisa diputar kembali, maka Cakra tidak perlu repot-repot memperingati Anya sebelum ia melayangkan tamparannya. Bahkan jika memang perlu, ia tak akan menggunakan telapak tangannya, melainkan kursi atau meja agar membuat cewek tidak tau malu itu jera dan mokat seketika.

"Ngapain lo nampar Anya?!" tatapan Niklas dingin. Sedangkan Cakra tergagap menjawab pertanyaannya.

"Gu-gue... Gue... Gue nggak... Nik, i-ini salah paham..."

Berniat untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi, tapi Anya sudah lebih dulu berlari lalu memeluk Niklas sambil menangis, Cakra pada akhirnya tak mampu berkata-kata lagi. Apalagi saat melihat bagaimana Niklas membalas pelukan Anya lalu meraup pipinya dengan lembut, api cemburu semakin membakar perasaannya. Cakra benci berada di momen tak mengenakkan seperti ini.

"Cak, kok lo bisa sekasar ini ama cewek?!" Niklas menekan nada suaranya. "Tangan lo seletoy apa, sampai tega nampar cewek huh?"

"Nik... Ini ga seperti yang lo liat, sumpah, A-Anya--"

"Udah ay gapapa, mungkin Cakra lagi ada masalah jadi dia ga sengaja nampar aku... Aku... Aku... Hiks, sakit..." Anya sengaja memotong perkataan Cakra agar cowok itu tidak memberitahu kejadian aslinya kepada Niklas. Sialnya, Niklas malah percaya begitu saja kepada kekasihnya tersebut.

Dengan penuh rasa emosi, kecewa, dan tidak percaya atas tindakan kekerasan Cakra, Niklas mengajak Anya pergi bersamanya meninggalkan restoran itu. "Gue ga pernah sekecewa ini ama lo Cak. Lo boleh kasar ke gue sesuka lo, tapi jangan pernah lo lakuin itu ke Anya. Sekali lagi, tangan lo yang kotor itu nyentuh dia, lo ga bakalan bisa liat dunia besoknya. Lo camkan itu di kepala lo dalem-dalem."

Usai mengancam Cakra, Niklas dan Anya beranjak pergi dari sana. Cakra hanya mampu melihat kepergian mereka dari kejauhan dan perlahan lenyap di balik kerumunan orang. Tiba-tiba Cakra merasa runyam menerpa hati dan perasaannya. Niklas memang pernah bermusuhan dengannya, tapi kala itu konflik mereka berbeda dari yang sekarang, dan itu membuat Cakra sakit hati.

Sakit karena Niklas sekarang berpaling darinya.

Sakit karena Anya lebih mengunggulinya.

Juga sakit karena posisinya kini benar-benar berada di rock bottom.

Cakra kembali duduk di kursi, berusaha menenangkan pikirannya sejenak sambil sedikit mencicipi minuman yang ia pesan walau sekarang rasanya berubah menjadi hambar. Gusar di hatinya tak henti-henti bergejolak. Cakra sadar kalau semakin ia mengikuti permainan Anya, maka semakin terjerumus pula dirinya ke dalam jurang jebakan cewek itu.

***

Keesokan paginya, Maura, Ian, dan Cakra kembali bertemu. Namun Cakra enggan untuk menceritakan semua kejadian semalam kepada kedua sahabatnya tersebut. Ia tidak mau ada salah paham lagi yang membuat situasi semakin rumit.

"Gais, kalian tungguin gue di luar yah, gue pengen ngambil barang dulu di loker. Bentar aja!" celetuk Maura ketika mereka bertiga kebetulan melewati ruangan loker. Tanpa basa-basi cewek itu langsung masuk ke dalam, tak mau membuat Cakra dan Ian menunggu.

Rivals With BenefitsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang