Prolog

775 13 0
                                    

Pita


Ojek online yang membawaku berhenti di hadapan sebuah rumah besar yang sudah beberapa kali kukunjungi. Hari ini kelihatan ada yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Pagar terbuka lebar dengan beberapa mobil terparkir di depan. Suara-suara juga ramai terdengar meskipun samar, padahal biasanya rumah ini selalu sepi. Aku jadi merasa tidak yakin apakah aku harus tetap masuk atau tidak.

Di dalam keterdiamanku, tiba-tiba ada suara yang memanggil. "Mbak, mau ketemu Bu Anis?" Itu suara Pak Ilham, driver Bu Anis, dosenku.

"Iya pak."

Seolah mengerti keraguanku, Pak Ilham berkata, "Masuk saja mbak, Ibu ada di dalam. Tapi lagi ada tamu, keluarganya ibu."

Meskipun segan, aku tetap harus masuk karena janji untuk bertemu sudah dibuat dari hari kemarin. Setelah mengucapkan terima kasih, aku berjalan melewati pekarangan untuk mencapai pintu depan. Kehadiranku di ambang pintu menyadarkan beberapa orang. Aku pun perlu memperkenalkan diri dan tujuan kedatanganku.

Tidak lama dari itu, seorang wanita yang kukenal menghampiriku, "Pita, sudah sampai? Macet nggak tadi?"

"Nggak kok, bu. Kebetulan aku naik ojek online jadi bisa lebih cepat."

Bu Anis adalah dosenku. Aku bekerja untuknya sebagai asisten sejak tahun ketiga sampai saat ini. Kurang lebih sudah satu tahun lebih aku bekerja sebagai asisten dosen. Sepanjang itu juga, aku tidak pernah berhenti mencari-cari tujuan hidupku. Aku kehilangan arah akan masa depanku. Semua cita-cita yang sudah terbayang di kepala, hanya menjadi angan-angan karena aku tidak pernah merasa cukup mampu untuk mewujudkannya. Aku terkurung di dalam pikiranku.

Begitu Bu Anis mempersilakanku masuk, aku duduk di sebelahnya di ruang tamu. Kami berdiskusi tentang hasil penelitian yang kami lakukan beberapa bulan terakhir. Sebenarnya ini penelitiannya, aku hanya membantu dalam beberapa hal, seperti mengolah data.

Obrolan ini tidak bertahan lama karena seseorang -yang kuyakini merupakan keluarganya- menginterupsi untuk mengajak makan siang. Aku pun diundang, namun aku menolak karena rasanya kurang nyaman mengikuti acara makan siang yang seharusnya dilakukan oleh keluarga saja. Sementara aku hanya orang asing bagi mereka.

Tetapi, Bu Anis tetap mengajakku, yang tentu saja tidak bisa kutolak.

Makan siang itu ramai dengan keluarganya. Aku hanya diam sambil menghabiskan makananku, berharap ketegangan ini cepat berlalu. Sambil mengunyah dan sesekali menjawab secukupnya ketika ditanya beberapa pertanyaan, aku hanya fokus mendengarkan pembicaraan yang tidak termasuk aku di dalamnya. Sampai sebuah obrolan lebih menarik perhatianku.

Suara dua pria yang mengobrol di seberang meja.

"Kerjaan lagi sibuk tapi sekretaris saya malah resign. Sampai sekarang belum ketemu penggantinya. Mas kalau ada kenalan, boleh di-refer ke saya."

Percakapan itu memberiku pemahaman bahwa pria di sana sedang membutuhkan sekretaris baru. Dia mungkin orang dengan jabatan penting di tempat kerjanya. Aku tidak bisa menangkap bidang pekerjaannya. Hanya saja, pekerjaan ini terdengar tempting.

Sepertinya aku terlalu kentara untuk menjadi seorang penguping karena di detik berikutnya, mata pria itu menangkap mataku yang dengan lancang tidak berhenti menatap ke arahnya.

Aku memberikan senyum singkat sebelum menundukkan pandanganku pada piring di hadapanku. Memang seharusnya aku tidak ada di acara keluarga orang lain.

_____

Setelah makan siang, aku mengunci diri di kamar mandi. Mengingat kembali pembicaraan di meja makan, membangkitkan kebimbanganku. Aku memang ingin berhenti dari pekerjaan sebagai asisten Bu Anis dan mencari peluang lain. Tetapi, sampai sekarang memang belum ada lamaranku yang diterima. Mencoba lagi yang satu ini tidak salah kan?

Tidak ada yang salah dengan menjadi asisten Bu Anis, hanya saja harapanku bisa mendapatkan suasana baru dan timbal balik yang lebih baik. Aku suka menjadi asisten, dan bekerja dengan Bu Anis, sedikit banyak juga menjadi sekretarisnya. Ya, tidak ada yang salah kalau aku mencoba di tempat lain...

Lamunanku seketika terhenti ketika pintu kamar mandi diketuk dari luar. "Sebentar." Kataku dan dengan segera merapikan penampilanku dan membuka pintu.

Duh

Pria itu berdiri di depanku. Dan aku baru menyadari bahwa dia sangat tinggi. Aku harus menegakkan kepala hanya untuk menatap wajahnya.

"Sudah selesai?"

Pertanyaan itu menyadarkanku untuk kedua kalinya bahwa aku sudah dua kali melamun.

"Uhm... iya, maaf lama."

Aku sedikit bergeser untuk memberikannya ruang. Jarak kami begitu dekat sampai aku bisa menghirup aroma cologne dari pakaiannya, aroma musk seperti pohon pinus dan segar angin.

Pria tampan yang wangi.

"Oh yang tadi... maaf aku nggak sengaja dengar pembicaraan kalian di meja makan..." Tanpa pikir panjang, aku tidak dapat mengontrol mulutku. Seolah aku ingin mengeluarkan seluruh isi kepalaku.

"Ok."

Jawaban singkat itu membuatku gugup. Aku tidak berani menatapnya terlalu lama. Jadi, aku harus menyelesaikannya dengan cepat. "Soal pekerjaan menjadi sekretaris, apa lowongannya masih dibuka?"

Pria itu menatapku lama dengan tatapan seolah menilaiku.

Sial sial.

Aku malu banget. Situasinya tidak sesuai untuk membicarakan pekerjaan formal di depan kamar mandi. Tapi sudah kepalang basah, pembicaraan ini harus mencapai jawabannya.

"Nama kamu siapa?"

Mendengar itu, aku buru-buru menegakkan tubuhku untuk menatapnya dengan lebih percaya diri. "Aku Pita, aku asistennya Bu Anis."

Pria itu sedikit menaikkan salah satu alisnya, "Kamu asistennya Tante Anis, tapi mau lamar pekerjaan yang lain?"

Duh harus banget wawancara di depan kamar mandi?

"Aku sedang berusaha mendapatkan peluang baru. Kebetulan aku sudah satu tahun bekerja untuk Bu Anis dan kupikir aku siap untuk coba kesempatan lain. Kalau kesempatan itu masih ada, aku mau mencobanya." Aku berusaha terlihat percaya diri, "Selama jadi asisten Bu Anis, aku juga melakukan tugas kesekretariatan, aku yang manage jadwal Bu Anis, aku juga handle dokumen-dokumen, walaupun banyaknya terkait penelitian dan manajemen perkuliahan. Tapi, di luar itu aku yakin aku adaptif, aku mau belajar hal-hal di luar bidangku."

Setelah mengutarakan apa pun yang mampu kurangkai dengan cepat di dalam kepalaku, aku mulai merasa khawatir dan tidak percaya diri. Pria itu masih terus menatapkan tanpa mengatakan apa pun. Tatapannya tajam dan seolah menelanjangiku dengan berbagai penilaian di dalam kepalanya. Sungguh, aku malu.

Lalu, tanpa berbicara apa pun dia merogoh sesuatu di belakang tubuhnya. Dia mengeluarkan dompet dan seolah mencari sesuatu.

"Saya Airlangga," Kemudian, dia menyodorkan secarik kertas tebal seperti kartu nama kepadaku. " Di sini ada email dan website perusahaan saya, kamu kirim lamaranmu ke situ."

Aku menerimanya dengan mata berbinar. Aku tidak bisa menutupi senyumanku, setidaknya tahap awal ini menampakkan secercah harapan. "Terima kasih."

"Kalau kamu mau kerja sama saya, kamu tidak bisa bekerja juga dengan Tante Anis, mengerti?"

Aku mengangguk, "Aku paham."

"Ok good."

Dengan begitu, hatiku mulai yakin. Setelah ini, aku akan berbicara dengan Bu Anis.

The Boss is My Roommate [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang