3. He's single

295 11 0
                                    

Pita


"Saya antarkan kamu ke kost, jadi kamu bisa ganti baju dan bawa barang-barangmu ke mobil saya. Kita masih punya banyak waktu sebelum jam masuk kerja."

Perkataan itu menimbulkan pertengkaran kecil antara aku dan Pak Airlangga. Dia tetap memaksaku untuk tinggal di apartemennya. Apartemen ini memang sangat nyaman. Tentu saja, dia adalah direktur. Tempat tinggalnya pasti mewah dan nyaman. Kamar yang kutiduri semalam saja bahkan lebih besar dari kamar kostku. Semua peralatan di unitnya sangat lengkap dengan aksen maskulin yang menonjol. Benar-benar tempat tinggal seorang pria.

Tapi, aku tetap tidak bisa tinggal di sini. Dia memang atasanku, tapi dia tetap orang asing. Aku tidak pernah tinggal dengan orang lain selain keluargaku. Dan ide untuk tinggal dengannya -yang adalah orang asing- rasanya sangat canggung.

"Pak, please...." Aku memelas, mulai lelah dengan beribu alasan yang sudah kulontarkan setengah jam ini.

"Pita...." Dia menirukan nada suaraku.

Aku menghela nafas sembari mengusap wajahku. Dia keras kepala. Begitu pun aku. Perdebatan ini tidak akan selesai sampai ada yang kalah. Tentu saja itu aku.

"Pak, aku sungkan... Bagaimana dengan keluarga Pak Airlangga? Nanti kalau mereka tidak nyaman gimana?"

"Ibu saya tidak tinggal di sini."

"Ehm... Istri? Anak?"

Dia mengernyitkan dahinya, "Saya belum menikah."

Oh.

Aku memang tidak tahu perihal kehidupan pribadinya. Memang dari semalam tidak kelihatan siapa pun di apartemennya dan tidak ada tanda-tanda kehidupan bayi atau anak-anak di sini. Tapi, mungkin saja kan keluarganya tinggal di tempat lain? Jadi, tidak ada salahnya jika aku memastikan... ya kan?

"Pacar?" Ya, bisa saja dia punya pacar. Dan aku tidak ingin membuat kesalahpahaman dan dianggap sebagai simpanan atau selingkuhan bos.

"Nggak ada." Dia menggeleng singkat sembari berlalu ke dapur. Walaupun tidak menghadapku, aku bisa melihat dia tersenyum geli.

So he's single

Baru jam 7 pagi, tetapi dia sudah kelihatan rapi dengan kemeja slim fit dan jas yang diletakkan di bar stool. Sementara aku? Masih dengan wajah bangun tidur dan rambut yang terurai ke mana-mana.

Sambil menyesap kopi, dia melirikku dengan sudut matanya, "Sudah siap berangkat?"

Aku menggeleng. Selain karena aku yang baru bangun tidur dengan kondisi yang berantakan, pembicaraan kita pun belum selesai dan aku tidak menerima jika dia mengalihkan topik pembicaraan.

"Kemarin Pak Airlangga sudah memukul orang itu kan? Jadi, kurasa dia tidak akan berani datang lagi... dan aku akan aman... kan?"

Aku sadar, perkataanku barusan terdengar sangat tidak mencerminkan keyakinan. Dia pun menyadari itu.

"Kamu lihat kan kemarin? Kamu menolak untuk melaporkan kejadian itu, tapi jadinya orang itu tetap datang kan? Saya nggak bisa biarin kamu di sana ketika saya tahu kamu tidak aman, sendirian, di sana. Dan lagi, saya sudah melaporkan orang itu, jadi tidak ada jaminan dia tidak akan datang lagi karena mungkin dia malah lebih marah sekarang."

"Pak?!"

Aku menatapnya tak percaya. Kenapa dia berlaku semaunya? Kenapa tidak mendiskusikannya dulu? Kalau begini kan semua malah menjadi lebih susah.

Dia mengendikan bahunya dan seolah dapat membaca pikiranku, "Walau kamu menolak terus, saya tetap akan melaporkan orang itu. Itu tindakan kriminal, Pita. Bagaimanapun tetap harus dilaporkan. Kalaupun dia tidak terima, setidaknya dia harus mendapatkan konsekuensi dari tindakannya."

The Boss is My Roommate [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang