8. Resah

228 13 0
                                    

Airlangga

Aku pasti sudah gila.

Aku tidak bisa menenangkan pikiranku barang sebentar saja. Tumpukan berkas dan email seolah tidak bisa menggantikannya menguasai pikiranku.

Dia Pita, perempuan yang semalam aku cium dengan impulsif. Sekretarisku, yang berada kurang dari sepuluh meter dari tempatku, hanya dipisahkan oleh tembok dan pintu.

Aku tidak bisa melupakan wajah terkejutnya semalam. Ketika dia mendorongku dan aku terpaksa harus melepaskan kehangatan bibirnya. Matanya yang bulat semakin membola, pipinya yang merah, bibirnya yang terbuka itu basah dan bengkak. Sangat indah. Aku yang membuatnya seperti itu.

Namun, ketika dia mendorongku menjauh dan aku kehilangan kehangatan tubuhnya dari tanganku, seketika aku merasa seperti orang jahat.

Itu ciuman pertamanya, dan aku sudah mengambilnya.

Aku sadar bahwa aku brengsek karena menginginkannya lagi. Aroma manis yang menguar, bibirnya yang lembut dan basah di bibirku, kulitnya yang halus di tanganku, tubuhnya yang hangat di pelukanku. Aku menginginkan semuanya.

Dia membuatku keras.

Brengseknya aku karena masturbasi sambil membayangkan hangat bibir meronanya yang melingkupiku.

Selama ini, aku berusaha keras mengenyahkan bayangan Pita ketika aku -harus- menggosok batang kerasku. Namun, semalam menjadi orgasme paling hebat yang kurasakan karena sulit sekali menghilangkan bayangannya dari pikiranku. Bahkan sampai saat ini, bibirnya masih terasa di bibirku.

Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat itu. Apakah dia menyesal? Ya, dia pasti menyesal. Matanya menampakkan keterkejutan dan... rasa bersalah? Dia tampak seperti baru saja melakukan sebuah kesalahan besar. Seharusnya aku yang merasa bersalah padanya.

Dan memang kini aku merasa bersalah untuknya.

Tetapi, dia juga seolah mengizinkanku, dia tidak mendorongku saat kedua kali aku berusaha menciumnya, dan dia membalas ciumanku. Itu berarti dia juga menginginkannya.

Ciuman itu tidak terjadi atas paksaan, kami sama-sama menginginkannya.

Namun, aku yang lebih tua harusnya tidak membiarkan itu semua terjadi. Pita ada di posisi yang rentan. Dia mungkin takut padaku sehingga dia membiarkan semua itu terjadi. Dia tidak berdaya. Dia belum pernah berciuman dan tentu saja dia akan kebingungan untuk menentukan sebuah keputusan dalam waktu cepat dan posisi yang tertekan.

Aku penjahatnya. Memanfaatkan kesempatan dari kerentanan seorang perempuan. Pita sedang kesulitan. Dia pernah dilecehkan secara verbal, dia dikuntit, dia juga mendapat teror, dan aku memberikannya pertolongan. Aku yang seharusnya menjaganya. Namun, semalam aku sudah melanggar batas dengan menciumnya.

Aku terus merasa gundah sepanjang malam. Semua pikiran itu tidak bisa enyah, membuat sulit untuk tidur dengan nyenyak.

Sampai aku terpaksa membuka mata, Pita masih berkelana di pikiranku.

Tadi pagi menjadi waktu yang sulit untukku hindari. Aku tidak mungkin menghindarinya. Akan terlihat seperti remaja baru puber yang suka menghindari masalah. Pita tinggal denganku, dan bekerja denganku, bagaimanapun aku harus tetap menghadapinya.

Saat aku menunggunya keluar kamar sembari membuat kopi, seperti kebiasaan yang sudah kulakukan hampir satu bulan ini, otakku terus bekerja merangkai kata-kata yang harus kuucapkan kepadanya.

Permintaan maaf.

Itu yang utama. Dia harus mendapatkan permintaan maaf yang layak dariku. Jikalau ia ingin aku bersujud di kakinya, maka aku akan melakukannya.

The Boss is My Roommate [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang