10. Jealousy

177 10 0
                                    

Pita

Aku sedang memasak untuk makan malam kami ketika aku mendengar suara pintu kamar dibuka dengan kasar. Suara itu berasal dari kamar Pak Airlangga diikuti suara langkah kaki yang dientak dengan cepat dan keras. Dia bergumam-gumam dengan pikirannya. Dari suaranya, aku bisa tahu bahwa Pak Airlangga sedang tidak dalam perasaan yang baik. Dia muncul dari lorong kamarnya ke arah pintu apartemen dengan tubuh tegak yang kaku. Namun, tidak sampai ke arah pintu, dia berhenti di foyer dan berbalik ke dapur, kepadaku, menghadapku yang menatapnya kebingungan.

Aku mematikan api di kompor sebelum berbalik menghadapnya yang terlihat gusar, "Kenapa, pak?"

Dia menyugar rambutnya dan menarik di akarnya. Dia kelihatan sedang tertekan. Mengambil nafas panjang sebelum meletakkan lengannya di pundakku dan berkata, "Jangan kaget Pita. Dan saya nggak mau kamu marah. Saya minta maaf dulu, tapi Dirga ada di sini sekarang."

Aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun dan hanya mampu menatapnya dengan mata membola dan mulut menganga kecil.

"Saya mau ngusir dia tapi saya nggak bisa. Dia tahu saya di sini, dia lihat mobil saya di parkiran bawah. Saya nggak bisa bohong. Sekarang dia lagi jalan ke atas, mungkin sebentar lagi dia sampai ke sini."

Aku masih kesulitan memutuskan apa yang harus kukatakan sekarang. Aku sedikit... takut. "Aku ngumpet di kamar saja ya?" hanya itu yang terpikirkan saat ini.

Dia terlihat menimbang sesaat dan kemudian menggeleng tegas, "Nggak. Kamu nggak harus ngumpet. Lagi pula, kita nggak bisa nyembunyiin semua barang kamu sekarang."

Dia benar. Sudah sebulan aku tinggal di apartemennya dan semua barangku mulai berceceran di segala titik rumah ini. Sepatu-sepatuku di foyer, buku-bukuku di lemari dan meja, selimut pink di sofa, kuncir dan jepit rambut di beberapa titik di rumah ini, dan barang-barang lainnya.

"Tapi kamu bisa percaya sama saya, Dirga bisa jaga rahasia, dia nggak akan asal ngomong tentang kamu. Oke?" dia menatapku seolah memintaku untuk mempercayainya dan aku mengangguk.

Saat dia meremas kedua pundakku dengan lembut, suara bel berbunyi. Sekali lagi Pak Airlangga memberikanku anggukan meyakinkan sebelum dia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Aku menatap ayam bakar di depanku yang belum matang sepenuhnya. Aku menatapnya seolah tatapanku bisa membakarnya. Aku sedang menguasai diriku sebelum Mas Dirga menatapku aneh dan menodongku dengan beribu pertanyaan. Atau mungkin dia akan melakukan itu juga ke Pak Airlangga.

"Lama banget sih. Ini pizza." Gerutu seseorang yang kukenali sebagai Mas Dirga.

Bagaikan adegan dalam film-film. Seolah waktu berhenti ketika mataku bertemu pandang dengan Mas Dirga. Wajahnya tidak dapat membohongi keterkejutannya. Dia menatapku dan Pak Airlangga bergantian dengan penuh tanda tanya.

Aku meremas-remas tanganku di belakang punggung, namun tubuhku berusaha tegak agar terlihat tidak salah tingkah. Pak Airlangga mengusap tengkuknya sambil melirikku. Suasana kini begitu canggung.

"Hai Pita. Kita ketemu lagi... di rumah... Angga...." perkataannya seperti tertahan di setiap kata, dia tidak yakin dengan respons apa yang harus ditunjukkan dalam situasi janggal ini.

"Hai mas." Hanya itu yang kukatakan sambil tersenyum tipis yang aku yakin tidak terlihat tulus.

Mataku melirik ke Pak Airlangga, berusaha meminta pertolongan. Namun, dia malah menatapku tajam. Apa lagi masalahnya sekarang?

Aku berusaha tidak memedulikannya. Mereka berdua. Biar Pak Airlangga saja yang menjelaskan semua situasi aneh ini ke Mas Dirga dan aku akan mengunci diriku sambil memasak.

Aku tidak melirik mereka lagi, namun aku tahu bahwa Pak Airlangga membawa Mas Dirga menjauh dariku. Entah kini mereka ada di ruang tengah atau di balkon, yang pasti aku dapat mendengar samar-samar pembicaraan mereka. Pak Airlangga berusaha menjelaskan situasi ini kepada Mas Dirga, mulai dari bagaimana aku bisa ada di sini, kenapa aku tinggal di sini, dan kenapa aku masih tinggal di sini.

The Boss is My Roommate [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang