Pita
Hubunganku dengan Pak Airlangga mungkin terasa membaik. Dia tidak lagi -berpura-pura- lembur, kami selalu pulang bersama. Meskipun begitu, dia terlihat masih berhati-hati dari caranya bersikap, menatap, atau menyentuhku. Dia kembali menjadi Pak Airlangga yang menjaga batas profesionalnya seperti hari pertama aku tinggal di apartemen ini.
Hanya saja, kini dia terasa sedikit lebih protektif kepadaku. Dengan sengaja pulang kantor bersama, artinya aku tidak memiliki waktu untuk survei kost baru. Aku tidak punya pilihan lain selain tetap tinggal di apartemennya karena aku juga tidak menyukai ide untuk pulang ke rumah orang tuaku.
Aku sudah berhasil keluar dari sana, tidak mungkin aku mau kembali ke tempat di mana aku seolah terkurung dalam sangkar. Aku tidak ingin terkekang dalam aturan yang membatasi kesempatanku. Aku tidak ingin mendengar nada-nada menakuti dan ucapan-ucapan manipulatif yang membuatku mempertanyakan harga diriku. Aku sudah cukup merepresi perasaanku setiap akhir pekan ketika aku -harus- kembali ke rumah orang tuaku. Sejujurnya aku tidak ingin. Namun, ini menjadi perjanjian tidak tertulis agar aku tetap diizinkan untuk keluar dari rumah. Menurut papa, dengan aku kembali kepadanya walaupun hanya seminggu sekali, itu memberikan dia kontrol untuk tetap menjagaku. Jika tidak, dia akan menjemputku paksa dan mungkin aku tidak akan memiliki kesempatan kedua.
Aku tidak akan menukarkan kesempatan untuk menjadi mandiri dengan apa pun, meskipun itu artinya aku harus menahan perasaanku pada Pak Airlangga.
_____
Rapat pagi dengan tim manajerial berjalan lancar. Suasana hati Pak Airlangga juga kelihatan baik sebab dia berhasil mendapatkan investor besar untuk proyek villa-nya di Pulau Sumba. Aku ikut senang untuknya.
Aku tengah membagikan laporan kepada peserta rapat, ketika seseorang yang kutahu sebagai Pak Haris, manajer SDM, menyelipkan selembar kertas ke tanganku. Aku tidak ingin menarik perhatian semua orang di tempat ini, jadi aku hanya tersenyum tipis kepadanya dan mengepalkan kertas itu dalam genggamanku, lalu melanjutkan pekerjaanku.
Aku melirik pada Pak Airlangga yang berada di ujung meja. Ternyata dia juga memperhatikanku-tidak yakin apakah dia melihat apa yang Pak Haris dan aku lakukan. Aku tidak dapat membaca arti raut wajahnya. Dia hanya menatapku dan kubalas dengan senyum tipis.
Begitu jam kerja berakhir, -seperti biasanya- aku menunggu Pak Airlangga keluar dari ruangan. Namun hari ini, dia keluar dari ruangannya untuk memintaku pulang lebih dulu karena dia ada janji temu dengan Mas Dirga. Dia menyuruhku cepat-cepat pulang agar aku tidak bertemu Mas Dirga. Aku curiga dia masih cemburu.
Aku malas berdebat jadi aku menurutinya saja.
Di lobby kantor, begitu aku keluar dari lift, terdengar seseorang memanggil namaku. Mataku mencari-cari sumber suara itu, sampai seseorang memenuhi pandanganku. Tanganku bergerak dengan sendirinya ke dalam saku rokku.
Aku baru ingat, aku masih menyimpan kertas yang diberikan Pak Haris saat meeting tadi pagi di saku rokku. Tanganku membuka gumpalan kertas tersebut dan mataku bergulir di setiap katanya.
Hai, kayaknya seru kalau kita bisa ngobrol di luar urusan kantor. Kalau kamu ada waktu, gimana kalau kita ngopi bareng? Mind to save my number!
- Haris
Aku selesai membacanya begitu Pak Haris tiba di hadapanku. Dia tersenyum dan aku membalas senyumannya dengan canggung.
Dia ingin aku menyimpan nomor yang dituliskannya di bawah surat, dan mungkin berharap aku membalas dengan menuliskan pesan ke nomornya. Tapi, aku melupakan keberadaan kertas ini di saku rokku. Dan kini aku merasa bersalah karena dari ekspresinya saat ini, sepertinya dia berharap aku menerima ajakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss is My Roommate [21+]
Roman d'amour"Aku mau lakuin itu sama kamu, Pak." Cerita tentang Pita mengeksplor banyak hal baru dalam hidup ketika Airlangga menawarkan sebuah kamar di apartemen pribadinya. Pita hanya seorang gadis 22 tahun yang masih belum menemukan arah untuk masa depannya...