CHAPTER 10

9 2 0
                                    

Setiap kali, nafasku di hela, nyeri itu seperti belati yang menusuk lebih dalam. Membuat seluruh tubuhku bergetar. Sudah cukup lama, aku berbaring di kasurku ini, tidak bergerak, hanya bola pupil mataku saja yang sedikit gemetar. Melihat jarum jam yang bergerak setiap detiknya.

Sudah ribuan mimpi yang terlintas di kepalaku, sudah ribuan seseorang yang muncul di dalam mimpiku. Tidak ada yang ku kenal, namun ada seorang wanita yang membuat ku sedikit bingung.

Mungkin itu wanita, atau apa, aku tidak tahu. Tapi tubuhnya besar seakan seperti 100 kaki dari tanah. bahkan aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, karena di tutupi awan putih cerah.

Dia seperti malaikat yang bercahaya. Mungkin.

Dengan rasa malas dan sakit, aku membangkitkan tubuhku dari kasur empukku. Sudah berjam jam aku berbaring disini, tidak ada yang kulakukan, bahkan aku tidak mendengar teriakan ayah. Ia tidak mengecek bagaimana keadaan ku, setelah aku di pukuli olehnya.

"Aku lapar.."

Kataku pelan, para cacing didalam perutku sudah mulai menggerogoti lambungku, mereka memberontak kelaparan. Tapi, aku tidak yakin bisa berjalan menuju dapur dengan selamat, melewati banyaknya anak tangga yang harus ku injak untuk menuju lantai bawah.

Lantai bawah yang sepi dan gelap, hanya sebagian sudut yang terang karena terkena cahaya matahari, yang masuk melalui sela sela gorden.

Perlahan kakiku melangkah menuju dapur, hal yang pertama ku buka adalah kulkas, mencari sesuatu didalam kulkas yang dingin, membuat luka lebam dimata ku berdenyut, sepertinya hawa dingin dari kulkas tidak membuat rasa sakit di lebam ku menghilang, hanya menambah parah saja.

Di kulkas tidak ada apapun, hanya sebungkus roti yang hampir kadaluarsa, selai blueberry yang sangat amat asam. Tidak cocok untuk gigiku yang sensitif.

Tidak ada pilihan lain, selain memakan roti itu, jika tidak makan, cacing cacing didalam perutku. Akan semakin mengamuk.

Duduk sendirian dimeja makan yang besar, memang menyenangkan, tapi kesepian tidak begitu mengasyikkan. Setiap gigitan pelan menghancurkan roti didalam mulut ku, fokus dengan apa yang ada. Suara dari Grandfather Clock, berbunyi setiap detiknya. detik yang kelewati hanya untuk duduk dimeja makan, memakan sebungkus roti yang hampir kadaluarsa.

Entah ada apa, se butir air mataku mengalir keluar dari sudut mataku, membuat jalan air mata menuju dagu. Tanganku terkepal erat, mencoba menahan emosi sedih ini, aku tidak tahu kenapa, setiap aku menangis aku selalu berpikir. Aku seorang pria dewasa, ini hanyalah masalah biasa yang harus ku lewatkan.

Tapi, aku membutuhkan pendamping. Sesosok ibu.

Aku menundukkan kepalaku, dan menangis tersedu sedu, aku tidak bisa menangis di bahu orang yang tersayang, menangis didalam pelukan hangatnya, menangis dan mengadu tentang masalah yang ku hadapi.

Semuanya hilang, sosok ayah yang seharusnya memimpin jalan seorang anak, untuk menuju jalan yang benar, sosok ibu yang seharusnya menjadi tempat untuk bercerita, tempat untuk mengadu, tempat untuk pulang ke pelukan hangatnya. Aku tidak pernah merasakan hal itu.

Aku selalu di tuntut, bahwa ibu yang berjuang selama ini, menggendong ku didalam perutnya, dan mengeluarkan ku bersamaan dengan darah merah nya, yang membuatnya hilang tidak bernyawa. Ibu sudah berjuang, jika ibu tidak berjuang, mungkin aku tidak ada di dunia ini, aku tidak akan merasakan rasa pahit dari dunia ini.

Aku sudah berjuang sendirian, selama bertahun tahun, dan memendam semua rasa sakit ku, didalam hatiku. Terkadang itu semua seakan seperti belati yang menyayat hati, membuatku hilang arah, bahkan pernah aku mempunyai pikiran untuk gantung diri. Jika aku tidak melihat foto ibu, mungkin aku sudah tidak ada sekarang.

Aku ingin pergi dari neraka ini, tapi bagaimana? aku tidak punya tempat selain rumah ini. Tidak ada tempat untukku berteduh. Tidak ada tempat untukku tidur selain di neraka ini.

Tidak ada..?

Pikiranku melayang sejenak, memikirkan hal yang pernah ku lakukan beberapa tahun lalu. aku punya rumah, peninggalan nenek disana, itu rumahku juga kan? cucu satu satunya.

Waktu terus berlalu, ku habiskan didalam kamar, melihat jadwal tiket pesawat untuk aku pergi ke tempat lahir ibu, aku berniat ingin liburan kesana, tinggal dirumah peninggalan nenek, tidak ada yang menempatkan rumah itu, mungkin karena rumah itu t...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Waktu terus berlalu, ku habiskan didalam kamar, melihat jadwal tiket pesawat untuk aku pergi ke tempat lahir ibu, aku berniat ingin liburan kesana, tinggal dirumah peninggalan nenek, tidak ada yang menempatkan rumah itu, mungkin karena rumah itu terletak di sebuah pulau yang tidak pernah terjamah oleh zaman maju.

Kehidupan disana masih seperti itu saja, warga disana memanfaatkan sumber daya alam untuk bahan pangan.

Aku pernah di titipkan disana oleh ayah, kepada nenek, dia merawat ku dengan baik, bahkan menyayangiku. Aku suka sekali saat mata hari mulai terbenam, yang dimana nenek mengajakku jalan jalan di sekitar pesisir pantai menikmati embusan angin yang lembut, pemandangan laut dengan awan yang berwarna orange.

Dan yang paling ku tunggu saat malam hari, adalah dongeng nya. Aku tertawa lepas setiap nenek membuat reaksi dari setiap karakter yang ia ceritakan, dan terkadang ia juga menceritakan tentang ibu, betapa cantiknya ibu, betapa lembutnya suara ibu, dan betapa hebatnya, ibu bisa mengubah perlakuan ayah.

"Dulu, ayahmu sangat menyayangi ibumu, dia selalu ada untuk ibu mu, bahkan ia rela cuti dari pekerjaan nya hanya untuk mengantar ibu ke pulau ini"

"Kau harus menjadi seperti ayahmu, yang mencintai kekasih tersayang mu, kau mengerti Varius? Cucu ku tersayang"

Itulah yang nenek katakan kepadaku, sebelum akhirnya ia meninggal dunia. Pergi menyusul ibu yang sudah berada di atas langit sana.


🪸🪸

🪸🪸

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MEET YOU, AT THE SEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang