Bus terus berjalan, melewati berbagai gedung dan pepohonan yang ramai, diiringi dengan para penumpang yang keluar masuk kedalam bus.
"Kepada penumpang yang terhormat, beberapa saat lagi, kita akan memasuki daerah pelabuhan, silahkan turun jika ada yang ingin melewati laut menuju pulau Arzahinia"
Arzahinia akhirnya..aku mendengar nama itu, hampir saja kulupakan, sudah berapa tahun aku tidak mendengar nama itu? Dan sudah berapa lama aku tidak ke pulau itu?
Aku melihat kearah jendela bus, terlihat pepohonan yang dilewati, dan dan burung-burung yang berterbangan di langit biru yang cerah. Cahaya terik matahari masuk kedalam bus, mengenai pahaku.
Aku menyadarkan kepala ku, di sandaran bus, dengan mataku yang terpejam, menenangkan pikiran ku setelah tidur yang cukup panjang, selama perjalanan. Perlahan aku merasakan bus berhenti, saat aku melirik ke jendela, memang sudah tiba di pelabuhan.
Perlahan aku bangkit dari tempat duduk, dan berjalan turun dari bus, memberikan uang kepada supir.
Kakiku yang masih terbalut perban, melangkah turun, menuruni tangga bus secara perlahan.
Mataku menyipit, karena teriknya matahari, melihat pelabuhan Arzahinia cukup sepi, mungkin hanya beberapa orang yang ingin ke pulau itu, termasuk diriku. Aku melihat seorang Porter pelabuhan yang berlari mendekatiku. Lagipula ini siang hari, panasnya cahaya matahari, tidak memungkinkan untuk para penumpang kapal, bertahan di atas gempuran laut dan di bawah teriknya matahari.
"Ayo dek, saya bantu bawa barangnya" ucap pria Porter itu, membuatku mengangguk tersenyum, dan membiarkan nya membawa koper beserta tas ranselku. Meskipun aku cukup memiliki otot, namun tulang-tulang didalam tubuhku sudah remuk semua.
Suara derit jangkrik bagai irama rahasia yang dituturkan tengah hari dengan begitu teriknya matahari, cahaya panasnya langsung memancar keseluruhan tanah, membuat cacing-cacing menggeliat keluar dari tanah untuk mencari oksigen lebih segar.
"Varius..dimana dia?"
"Kita sudah menunggu disini selama tiga jam loh, dan dia belum angkat telfon mu juga?"
Keluh Vara, memeluk lututnya sambil bersandar di bahu Sina, dia sudah mengeluh beribuan kali. Dan dipastikan Sina sudah frustasi akan hal ini, dia tidak bisa berpikir jernih lagi.
Yang di pikirkan hanyalah, pulang, istirahat, minum es, dan tidur.
"Sabar! dia memang lama kalau angkat telpon" Protes Cikay, akibat pancaran panas sinar matahari, membuatnya stress dan kesal.
"Lama juga tidak akan 3 jam seperti ini!!" Teriak Vara, dia sudah stress dan lelah karena panas menyerang kepalanya.
Lalu dia merengek, menyadarkan kepalanya di bahu Sina. "Aku mau pulang..tapi aku mau lihat keadaan Varius.."
"Sina.."
"Diam kau Vara, jangan mengganggu ku, di hawa panas seperti ini lebih baik kau diam" Ketus Sina, dia mencoba menahan emosi nya. Scroll video tiktok di ponselnya, agar emosional nya tidak terlampiaskan ke Vara.
Vara kembali merengek tidak nyaman, dia kepanasan, air keringat nya sudah membasahi setiap lekukan ditubuhnya, akar rambutnya sudah lepek akan keringat, dan ujung nya yang kering karena terpapar sinar matahari.
Angin bertiup kencang, menyibak rambut hitam pekat ku dengan suara debur ombak yang menerjang lambung kapal. Banyak penumpang kapal yang keluar dari kendaraan mereka untuk menikmati embusan angin yang sejuk, dan melihat bagaimana air laut bergerak mengikuti arus angin.
Tatapan kosongku menatap luasnya laut, menikmati angin bertiup, dan mendengar setiap obrolan dari penumpang kapal.
"Ayah lihat ombaknya besar!"
"Sayang lihat, meskipun hari ini sedang terik, tapi karena angin laut ini, kita seakan tidak merasakan panas dari matahari"
"Apasih kamu"
Itulah yang aku dengar, betapa mereka menikmati momen ini, dan mengabadikan dalam foto di ponsel mereka. Orang tua yang memfoto anak-anak mereka di tempat baru yang baru di kunjungi. Begitu indah senyuman mereka.
Aku tidak pernah merasakan hal-hal manis itu. Bahkan aku tidak punya foto bersama Ayah, foto wisuda sekolahku hanya diriku sendiri dan bunga yang diberikan gadis yang menyukaiku.
"Varius..selamat atas kelulusanmu, ini untukmu"
Aku tersenyum mengangguk, mengambil bouquet bunga itu darinya. "Terimakasih"
"Sama-sama, anggap itu sebagai perasaanku selama ini, kau tidak pernah membalas perasaanku" kata gadis itu membuatku kembali mengangguk. Aku ingat dia yang selalu menaruh coklat di kolong mejaku.
"Iya, maaf aku tidak pernah membalas perasaanmu"
"Tidak apa, lagipula banyak teman-teman ku yang mengatakan, bahwa aku memang harus move on darimu, karena kau hanya memberikan ku harapan palsu"
Aku terkekeh pelan, mengangguk. "Mereka benar, lupakan saja diriku"
Gadis itu hanya mengangguk, sepertinya ia memang tidak bisa melepaskan ku begitu saja, padahal kami sama-sama SMP, dan biasanya percintaan anak sekolah di sebut 'cinta monyet' yang hanya angan-angan saja.
Aku tidak peduli dengan istilah 'cinta monyet' tapi, gadis yang menyukaiku, saat aku sekolah di jenjang SMP. Mereka seperti tidak bisa lepas dariku, selalu mengirimkan ku pesan dan selembar surat, tidak lupa gift yang begitu banyak sudah mereka berikan kepadaku. Mulai dari coklat, jaket, buku harian, bahkan novel.
Semua hadiah itu, kukembalikan kepada mereka, dan meminta maaf karena tidak bisa menerima semua itu. Aku bingung, apa yang mereka lihat dariku? Menurutku aku hanyalah anak laki-laki biasa yang menemba ilmu untuk masa depan. Tidak ada yang menarik dariku.
🪸🪸
KAMU SEDANG MEMBACA
MEET YOU, AT THE SEA
ActionSejak kecil, Varius selalu di perlakukan kasar oleh ayahnya, yang bertujuan agar Varius selalu tetap siaga menghadapi masalah apapun. Namun bukan itu yang di inginkan Varius *** Saat masih kanak kanak, ia selalu di ejek teman temannya, karena Varius...