12 › don't play with players.

123 12 0
                                    

Klek

Liam yang hendak mengetuk pintu kamar Rakiel pun melangkah mundur saat pintu kamar submissive itu dibuka dari dalamㅡRakiel dengan baju seragam sekolah muncul dari balik pintu hendak keluar. Namun, langkah kaki submissive itu terhenti di ambang pintu kamar yang baru setengah terbuka setelah tanpa sengaja bersitatap dengan Liam. "Iel, can we talk for a minute?" Pinta Liam sembari menahan pintu kamar saat Rakiel kembali memasuki kamar dan hendak kembali menutup pintu kamar.

"Gue gak mau bicara sama lo."

"Sebentar saja, please.. give me a chance to speak." Ujar Liam memohon karena sejatinya ia tidak betah tidak dianggap atau didiamkan setelah apa yang ia katakan ternyata menyinggung lawan bicaranya, "Maaf.. aku minta maaf, Iel."

Rakiel melepaskan gagang pintu, membiarkan pintu kamarnya terbuka lebar-lebar. "Maaf buat apa? Buat apa yang udah lo omongin ke gue?" Nada bicaranya ketus sekali, "Liam, percuma lo minta maaf sekarang kalau nantinya bakal lo ulangin lagi, lo ikut campur urusan gue."

Liam terdiam mendengar omelan Rakiel.

"Gue gak suka ya, gue tahu kalau bokap gue nyuruh gue tinggal sama lo karena bokap gue suruh lo ngawasin gueㅡTapi, bukan berarti lo punya hak tahu semua urusan gue." Omelan Rakiel masih berlanjut, "I will continue to set boundaries about what matters I need to tell you or what I don't need to tell you."

"Okay, then do it," Balas Liam seolah menyetujui, "Aku gak akan ganggu urusan kamu. Tapi, kamu harus ingat kalau kamu harus selalu memberikan aku kabar keberadaan kamu."

Rakiel mendengus malas, "Ribet banget." Hardiknya segera menerobos keluar kamar menuju ruang makan karena ia sudah lapar efek semalam ia tidak makan malam.

"I just ask you to let me know where you are, Iel." Liam mengikuti Rakiel yang sudah duduk di salah satu kursi makan dan sedang mengunyah sandwich yang setengah jam lalu ia buatkan untuk sarapan mereka berdua.

"Apa? Lo cuma minta gue kasih kabar? Sorry, lo lupa kalau sebelumnya lo minta gue buat pakai pakaian yang sopan kah?" Rakiel menatap Liam ogah-ogahan, "Ngatur banget, lo bukan donatur gue kali."

"Berapa?"

Kunyahan sandwich yang ada di dalam Rakiel berhenti perlahan karena celetukan pertanyaan yang diajukan oleh Liam yang saat ini berdiri di samping meja makan, "Apa?"

"Berapa uang yang harus aku kasih ke kamu supaya kamu nurut sama aku?"

"Anjing ya," Merengut kesal tapi Rakiel tidak tersinggung, "Gak usah sok mau kasih gue uang kalau uang lo masih dari orang tua lo."

Liam tertawa kecil lalu ikut duduk tapi tidak sarapan melainkan memperhatikan Rakiel yang sarapan, "But you've forgiven me, right?"

"It depends on whether you still mind my business or not." Habis, Rakiel sudah selesai menghabiskan satu potong sandwich lalu beranjak menuju kamarnya untuk mengambil ranselnya.

Liam menghela nafas samar, ia ikut beranjak, meletakkan piring kotor milik Rakiel ke wastafel dapur lalu menghampiri Rakiel yang sudah keluar dari kamar dengan membawa ransel. "Temanmu menjemputmu?" Tanyanya memperhatikan Rakiel yang sedang mengotak-atik layar handphone.

"Mhm, Khai." Balas Rakiel tanpa menatap Liam.

"Khai tahu kamu sudah pindah ke sini?"

Jari Rakiel yang sedang mengetik pesan itu pun terhenti lalu menoleh dan menatap ke arah Liam, "I was just about to tell Khai the address of this apartment, kenapa? Lo gak suka gue kasih tahu temen gue?"

"Not like that, kamu bisa kasih tahu teman kamu."

Rakiel mengangguk-angguk lalu mengirimkan lokasi apartemen Liam pada Khai. "Gue pulang sama temen gue, lo gak perlu hubungin gue." Celetuknya memperingatkan Liam, "Pokoknya jangan hubungin gue kalau bukan gue duluan yang ngehubungin lo."

Player (delayed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang