Jujur

146 19 2
                                    

Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di kafe kecil yang tenang. Shani dan Gracia tetap menjaga komunikasi, meskipun ritme hidup mereka berbeda. Gracia yang ceria dan spontan sering mengajak Shani keluar untuk makan siang atau sekadar berbincang. Sementara Shani, yang masih lebih suka menyendiri, kadang menolak ajakan tersebut dengan alasan pekerjaan, meski dalam hati ia mulai merasa senang dengan kehadiran Gracia.

Pada suatu sore, Shani sedang duduk di ruang tamunya, menatap layar laptop, mencoba fokus pada pekerjaannya. Di antara tumpukan dokumen, pesan dari Gracia tiba-tiba muncul di ponselnya.

_"Hey Ci, hari ini free nggak? Ada tempat bagus yang baru buka. Aku udah reservasi buat kita berdua, kalau kamu ada waktu..."_

Shani menatap pesan itu sejenak, jari-jarinya melayang di atas layar ponsel, ragu apakah ia harus menerima ajakan tersebut. Perasaan hangat yang sudah mulai tumbuh dalam dirinya mendorongnya untuk lebih terbuka, tapi ada juga bagian dirinya yang takut akan kedekatan yang semakin dalam ini.

_"Oke. Jam berapa?"_

Balasan singkat itu langsung diikuti oleh pesan semangat dari Gracia, lengkap dengan detail waktu dan lokasi. Sebuah restoran dengan pemandangan sungai yang tenang, tepat di tepi kota—tempat yang sepertinya dirancang untuk percakapan mendalam dan ketenangan, hal yang Shani mulai hargai sejak mengenal Gracia.

---

Saat malam tiba, Shani tiba di restoran tersebut. Suasana senja yang mulai meredup, bersama dengan lampu-lampu lembut yang menerangi restoran, menciptakan suasana damai. Ia melihat Gracia sudah menunggu di meja, melambai dengan senyum lebar yang selalu mengiringi kedatangannya.

"Ci, sini! Aku udah pesan menu yang pasti kamu suka," kata Gracia, penuh antusiasme.

Shani berjalan menghampiri dan duduk di kursi yang menghadap langsung ke sungai. Angin sejuk menyapu wajahnya, memberi ketenangan yang segera terasa nyaman.

"Kamu selalu tahu cara menemukan tempat yang pas," ucap Shani, kali ini dengan senyum yang lebih nyata.

Percakapan mereka mengalir dengan santai, menyentuh topik-topik ringan, dari pekerjaan hingga musik klasik favorit mereka. Namun, seiring dengan malam yang semakin larut, suasana mulai berubah. Setelah beberapa lama, Gracia meletakkan sendoknya dan memandang Shani dengan lebih serius, seperti menyiapkan diri untuk mengatakan sesuatu yang penting.

"Ci, ada sesuatu yang pengen aku omongin ke kamu," kata Gracia, nada suaranya lebih pelan.

Shani mengangkat alis, menatap Gracia dengan sedikit rasa penasaran. "Apa?"

Gracia menghela napas, lalu tersenyum tipis. "Kamu tahu kan, selama ini aku senang banget bisa jadi teman kamu. Aku suka kita bisa ngobrol, berbagi cerita, bahkan cuma duduk diam bareng pun rasanya nyaman banget. Tapi…"

Shani merasakan detak jantungnya sedikit lebih cepat, ia mulai merasakan ada sesuatu yang besar akan terungkap.

"Tapi aku nggak bisa bohong kalau aku mulai merasakan sesuatu yang lebih dari itu," Gracia melanjutkan, suaranya sedikit bergetar. "Aku nggak mau kamu merasa terbebani atau apa, tapi aku pikir aku harus jujur. Aku suka kamu, Ci. Bukan cuma sebagai teman. Lebih dari itu."

Kata-kata itu menggantung di udara. Shani terdiam, matanya mengunci pada wajah Gracia yang tampak rapuh dalam keterbukaannya. Bagian dirinya yang biasanya akan langsung mundur dan membangun dinding tinggi untuk melindungi diri, kali ini tidak bisa bergerak. Perasaan hangat yang perlahan-lahan tumbuh selama berminggu-minggu terakhir kini meledak dalam kebingungan dan keraguan.

"Aku... nggak tahu harus bilang apa," ucap Shani pelan, mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Aku belum pernah... aku nggak pernah berpikir tentang hal ini."

Cold But SweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang