Hari-hari berikutnya terasa lebih ringan bagi Shani. Setelah berbagi perasaannya dengan Gracia, ia merasa beban yang selama ini ia rasakan mulai terangkat. Meski perjalanan ini masih panjang dan mereka belum benar-benar mendefinisikan hubungan mereka, keduanya merasa nyaman berada di titik ini—tanpa paksaan, tanpa tekanan.
Suatu sore, Gracia mengajak Shani ke sebuah tempat yang spesial. “Aku punya kejutan buat kamu,” ujar Gracia penuh semangat saat mereka duduk di mobil, melewati jalan-jalan kecil di tepi kota.
“Kejutan apa lagi?” tanya Shani sambil tersenyum, sedikit penasaran. Gracia memang dikenal spontan dan penuh ide tak terduga, dan ini membuat Shani sekaligus bersemangat dan bertanya-tanya.
“Nggak jauh dari sini, kamu pasti suka,” jawab Gracia sambil terus mengemudi. Setelah beberapa menit, mereka tiba di sebuah tempat yang Shani belum pernah kunjungi sebelumnya—sebuah rumah kaca besar yang terletak di pinggir hutan, penuh dengan tanaman hijau, bunga-bunga berwarna-warni, dan dekorasi yang terlihat alami namun menenangkan.
“Ini apa?” tanya Shani, memandang sekeliling dengan takjub.
“Ini tempat favoritku,” jawab Gracia dengan senyum bangga. “Aku sering ke sini kalau lagi butuh ketenangan. Aku pikir kamu akan suka juga.”
Shani mengangguk, merasa bahwa tempat ini memang cocok untuknya. Rumah kaca itu terasa damai, jauh dari hiruk pikuk kota, dengan suara alam yang tenang mengiringi setiap langkah mereka. Di dalamnya, ada bangku kayu yang menghadap ke kolam kecil, dikelilingi oleh tanaman gantung dan bunga-bunga liar. Tempat ini seperti dunia kecil tersendiri, yang terpisah dari kehidupan sehari-hari yang penuh tekanan.
Mereka duduk di bangku kayu itu, menikmati keheningan yang menenangkan. Angin sejuk berembus melalui celah-celah rumah kaca, membawa aroma tanah dan bunga-bunga segar. Gracia menoleh ke arah Shani, memperhatikan betapa tenangnya wajah Shani saat itu.
“Kamu tahu,” kata Gracia pelan, “sejak pertama kali kita ketemu, aku selalu merasa ada sesuatu yang spesial dalam diri kamu. Sesuatu yang bikin aku nggak bisa menjauh.”
Shani menatap Gracia dengan mata yang lembut. Ia sudah mendengar perasaan ini sebelumnya, tapi setiap kali Gracia mengatakannya, perasaan hangat itu tetap muncul di dalam dirinya. “Dan aku senang kamu nggak pernah menjauh,” jawab Shani pelan, tapi penuh arti.
Mereka duduk dalam keheningan, merasakan kehadiran satu sama lain di tempat yang terasa seperti milik mereka berdua. Di antara tanaman hijau dan langit yang mulai memudar warnanya, Shani merasa sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Sesuatu yang lebih kuat dari sekadar persahabatan.
“Aku rasa aku mulai paham apa yang aku rasain, Gre,” kata Shani akhirnya, memecah keheningan. Gracia menoleh dengan sedikit terkejut, tapi juga penuh harap.
“Aku takut dulu, sama perasaan ini,” lanjut Shani. “Tapi sekarang, aku merasa lebih siap. Mungkin karena kamu selalu ada di sini, sabar sama aku. Aku nggak tahu persis gimana caranya menjelaskannya, tapi... aku rasa, aku juga punya perasaan yang sama kayak kamu.”
Gracia terdiam sejenak, membiarkan kata-kata Shani meresap. Matanya mulai berbinar, dan senyum di wajahnya perlahan meluas. “Aku nggak minta lebih, Ci. Dengar kamu bilang itu aja udah cukup buat aku,” katanya dengan nada penuh kebahagiaan.
Shani tersenyum, merasa lega akhirnya bisa mengungkapkan perasaannya. Mereka saling menatap, tanpa perlu kata-kata lagi. Pada saat itu, di rumah kaca kecil yang penuh kehidupan itu, mereka tahu bahwa hubungan ini telah mencapai titik yang baru.
Gracia mendekatkan wajahnya ke Shani, dan untuk pertama kalinya, keduanya saling berciuman, lembut dan penuh kehangatan. Tidak ada ketergesaan, tidak ada tekanan—hanya perasaan yang tulus yang akhirnya mereka akui.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold But Sweet
Romance"Aku tidak menyangka aku bisa luluh begitu saja ketika melihat perempuan ini" -S "Aku merasa sangat nyaman berada di dekatnya meskipun terkadang dia sangat dingin kepada orang-orang" -G