Cold But Sweet

Bahagia

Beberapa bulan berlalu sejak malam itu di balkon, dan hubungan Shani serta Gracia semakin dalam. Mereka saling mendukung dalam setiap tantangan hidup yang datang, baik pekerjaan, keluarga, maupun pertanyaan-pertanyaan dalam diri mereka sendiri. Shani, yang dulu sering menarik diri dan ragu untuk membuka hati, kini mulai merasa lebih nyaman. Dia bahkan mulai memperkenalkan Gracia kepada beberapa teman terdekatnya, sebuah langkah besar yang menandai betapa berartinya Gracia dalam hidupnya.

Suatu sore, saat mereka sedang duduk di sebuah kafe kecil di tepi kota—tempat favorit mereka untuk sekadar bersantai—Gracia tiba-tiba mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya. Shani yang sedang menyesap kopinya menatap kotak itu dengan rasa penasaran.

“Ada apa ini?” tanya Shani, senyumnya tipis, meski sedikit cemas.

Gracia tersenyum lembut, lalu meletakkan kotak itu di atas meja, tepat di depan Shani. “Ini bukan sesuatu yang besar, tapi aku udah lama pengen ngasih ini ke kamu,” katanya, nada suaranya sedikit lebih pelan dari biasanya.

Shani menatap kotak itu, ragu-ragu sebelum membuka penutupnya. Di dalamnya, ada gelang sederhana berwarna perak dengan ukiran halus di bagian dalam. Saat Shani mengangkatnya untuk melihat lebih dekat, ia melihat ada tulisan kecil di bagian dalam gelang itu: *“Selalu bersamamu, dalam tenang dan riuh.”*

Shani menatap Gracia, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Gre... ini...”

“Aku tahu ini mungkin terdengar cheesy,” kata Gracia dengan tawa kecil. “Tapi aku cuma pengen kamu tahu kalau aku selalu ada buat kamu, apa pun yang terjadi. Aku nggak pengen kamu merasa sendirian lagi.”

Shani terdiam, hatinya bergetar dengan emosi yang sulit ia jelaskan. Selama ini, Gracia selalu menjadi sosok yang penuh perhatian dan selalu memastikan Shani merasa dihargai. Gelang itu, meskipun sederhana, terasa seperti simbol dari semua yang telah mereka lalui bersama—dari keraguan hingga perasaan yang semakin dalam.

Tanpa berkata apa-apa, Shani menggenggam tangan Gracia yang ada di meja, merasakan hangatnya sentuhan itu. “Terima kasih,” ucapnya pelan. “Kamu nggak pernah berhenti membuat aku merasa lebih baik.”

Gracia tersenyum, lalu mengusap lembut punggung tangan Shani. “Karena aku sayang kamu, Ci. Aku selalu ingin yang terbaik buat kamu.”

Malam itu, mereka berdua berjalan pulang dengan hati yang terasa lebih ringan. Shani mengenakan gelang pemberian Gracia, dan setiap kali ia melihatnya, ada perasaan hangat yang merayap di dalam hatinya. Meskipun hubungan mereka tidak selalu sempurna, ada satu hal yang pasti—mereka telah menemukan satu sama lain, dan itu lebih dari cukup untuk membuat segala tantangan yang akan datang terasa bisa dihadapi bersama.

---

Hari demi hari, Shani dan Gracia semakin terbiasa dengan ritme hidup yang mereka bangun bersama. Ada malam-malam yang mereka habiskan dengan tawa di rumah, saling bercerita tentang mimpi-mimpi mereka. Ada pula hari-hari yang mereka lalui dalam keheningan, cukup menikmati kehadiran satu sama lain tanpa perlu banyak kata.

Pada suatu akhir pekan, Gracia mengajak Shani untuk pergi ke sebuah villa di pegunungan. Udara segar dan pemandangan alam yang indah menjadi latar belakang sempurna untuk pertemuan singkat ini. Mereka duduk di teras villa, memandang langit yang mulai memerah saat matahari terbenam.

“Kamu bahagia, Ci?” tanya Gracia tiba-tiba, memecah keheningan.

Shani menoleh, menatap Gracia dengan tatapan serius sebelum tersenyum lembut. “Iya, aku bahagia. Karena kamu.”

Gracia tersenyum, puas dengan jawabannya. Mereka berdua tahu bahwa mereka mungkin masih punya perjalanan panjang di depan, dengan banyak hal yang belum pasti. Namun, selama mereka bersama, mereka tahu bahwa kebahagiaan mereka bukan hanya soal mencapai tujuan, tapi juga menikmati setiap langkah yang mereka ambil, bersama-sama.