Pagi itu, Gracia bangun dengan badan yang masih terasa pegal. Namun, semangatnya tak surut. Setelah malam penuh ketegangan dan pembicaraan serius, dia sadar bahwa apa yang terjadi semalam adalah titik awal dari sesuatu yang lebih besar. Saat dia turun ke ruang tengah base camp Crimson Reign, aroma kopi sudah menyambutnya.
Anin duduk di meja makan, tampak asyik dengan laptopnya. “Pagi, Gre,” sapanya sambil menyesap kopi.
“Pagi, Nin,” balas Gracia sambil menguap. “Lo ngerjain apa pagi-pagi gini?”
Anin menggerakkan kursornya sambil menunjuk layar. “Gue lagi coba cari info soal gedung tua itu. Soalnya gue penasaran, kenapa gedung itu ditinggalkan, tapi kayaknya gak ada yang pernah ngomongin.”
Gracia menatap layar laptop Anin dengan mata setengah mengantuk. “Dan, ada apa?”
“Sejauh ini, gak banyak yang bisa gue temuin,” kata Anin, wajahnya sedikit kecewa. “Semua artikel yang ada cuma ngebahas tentang renovasi kampus, tapi gak ada yang spesifik soal gedung itu.”
Sebelum Gracia bisa menjawab, pintu depan terbuka dan Shani masuk dengan membawa tas besar. “Pagi, kalian berdua. Gimana tidur kalian?”
“Gue ngerasa lebih baik, meski badan gue kayak habis digebukin,” jawab Gracia jujur, sambil tertawa kecil.
Shani tersenyum. “Itu wajar. Tubuh lo masih adaptasi sama energi gaib di sekitar lo. Semakin sering lo terlibat, lo bakal lebih kuat ngadepinnya.”
Anin menutup laptopnya dan menatap Shani. “Jadi, rencana kita hari ini apa, Shan? Apa kita bakal langsung ke gedung tua itu?”
“Gue rasa kita belum bisa langsung ke sana,” jawab Shani sambil meletakkan tasnya di meja. “Kita perlu lebih siap. Selain itu, gue udah minta Zee sama Cindy buat cari info lebih detail soal energi di sekitar gedung itu. Hari ini, kita latihan dulu.”
“Latihan?” Gracia mengernyit. “Kayak latihan fisik gitu?”
Shani tertawa. “Bukan cuma fisik, tapi juga mental dan spiritual. Lo bakal dilatih buat ngontrol energi yang lo punya. Soalnya, lo punya potensi besar buat bantu kita, Gre. Lo gak bisa cuma ngandelin keberuntungan kayak semalem.”
Gracia menatap Shani dengan serius. “Gue ngerti. Gue siap buat latihan apa aja.”
Jinan yang tiba-tiba muncul dari kamar, menyandarkan diri di pintu. “Jangan terlalu semangat dulu, Gre. Latihan pertama itu selalu yang paling berat. Gue sendiri dulu hampir pingsan di hari pertama.”
Anin melirik ke arah Gracia dan tertawa kecil. “Baguslah, biar lo ngerasain juga, Gre.”
Gracia menepuk bahu Anin dengan gemas. “Lo gak bantu sama sekali, Nin.”
Shani tersenyum tipis, lalu memberi isyarat pada mereka semua untuk berdiri. “Oke, kita bakal mulai di halaman belakang. Tempat itu cukup luas buat kita latihan tanpa gangguan.”
Mereka semua mengikuti Shani keluar, menuju halaman belakang base camp. Halaman itu memang luas, ditumbuhi rerumputan hijau dan dikelilingi oleh pepohonan rindang yang menciptakan suasana tenang. Sempurna untuk latihan.
“Jadi, apa yang pertama kali harus gue lakuin?” tanya Gracia penasaran, menatap Shani yang tengah mengambil posisi di tengah lapangan.
“Pertama, kita perlu nyari tahu seberapa besar kemampuan lo dalam ngerasain energi gaib di sekitar lo,” jelas Shani sambil melipat tangannya di dada. “Lo udah punya bakat alami, tapi lo perlu ngembanginnya.”
Jinan yang duduk santai di atas batu besar dekat mereka, menambahkan, “Lo harus ngerasain, bukan cuma liat. Kadang energi gaib bisa halus banget sampai lo gak sadar kalo itu ada di sekitar lo.”
Anin yang duduk di rerumputan dengan ekspresi penuh penasaran, langsung mengangkat tangan. “Gue boleh ikutan gak? Biar kalo ada apa-apa gue bisa ngerti juga.”
Shani tersenyum melihat antusiasme Anin. “Tentu aja boleh, Nin. Latihan ini sebenernya gak cuma buat Gracia. Kalian semua perlu lebih peka sama energi di sekitar kalian.”
Shani mulai menjelaskan dasar-dasar tentang energi gaib, bagaimana rasanya di tubuh, dan bagaimana cara mengendalikannya. Mereka semua mendengarkan dengan serius, meskipun Zee dan Cindy terlihat masih sibuk mencari info di tempat lain.
Setelah penjelasan selesai, Shani meminta Gracia untuk berdiri di tengah lapangan dan memejamkan matanya. “Sekarang, coba fokus sama lingkungan sekitar lo. Rasain energi yang ada di sini. Gak perlu memaksakan, biarkan energi itu datang sendiri.”
Gracia menarik napas dalam-dalam dan mencoba berkonsentrasi. Awalnya dia gak merasakan apa-apa, hanya suara angin yang berhembus pelan. Tapi semakin lama, dia mulai merasakan sesuatu. Ada aliran halus di udara, seperti getaran samar yang mengalir di sekitar tubuhnya.
“Gue... gue ngerasain sesuatu,” gumam Gracia, matanya masih terpejam.
Shani mengangguk dengan puas. “Bagus. Sekarang, coba fokuskan energi itu ke tangan lo. Rasakan bagaimana energi itu bergerak dan mengalir di tubuh lo.”
Gracia mencoba memusatkan perhatiannya pada tangan kanannya. Perlahan-lahan, dia mulai merasakan panas ringan di telapak tangannya, seolah-olah ada aliran energi yang berkumpul di sana. Tapi kemudian, aliran itu tiba-tiba menghilang, dan Gracia membuka matanya dengan bingung.
“Apa yang barusan terjadi?” tanya Gracia, menatap tangannya.
“Itu wajar,” jawab Shani dengan tenang. “Lo masih dalam tahap awal. Kadang energi bisa terasa kuat, tapi kadang juga bisa menghilang. Kuncinya adalah terus berlatih sampai lo bisa mengendalikannya dengan lebih stabil.”
Jinan yang sedari tadi memperhatikan, bersiul pelan. “Lumayan cepat untuk pemula. Gue butuh waktu lebih lama buat bisa ngerasain energi kayak gitu.”
Gracia tersenyum tipis, merasa sedikit bangga dengan dirinya sendiri. Meski dia masih jauh dari sempurna, setidaknya dia sudah mulai merasakan kemajuan. Tapi dia tahu, ini baru langkah pertama dari perjalanan panjang yang menantinya.
Anin yang sedari tadi mencoba juga, tiba-tiba berteriak kecil. “Eh, gue ngerasain sesuatu juga! Tangan gue kayak kesemutan!”
Shani tertawa kecil. “Itu artinya lo mulai peka sama energi di sekitar lo, Nin. Bagus, terus latihannya.”
Latihan mereka berlangsung hampir sepanjang pagi. Meski melelahkan, Gracia merasa puas. Dia tahu bahwa dengan setiap latihan, dia akan semakin kuat dan siap menghadapi apapun yang datang.
Menjelang siang, Cindy dan Zee akhirnya kembali dengan berita. Mereka berdua terlihat serius, berbeda dengan biasanya.
“Lo dapet info penting?” tanya Jinan saat melihat ekspresi mereka.
Zee mengangguk cepat. “Iya, kami nemu sesuatu yang besar. Bangunan tua itu ternyata gak cuma jadi tempat penelitian energi gaib, tapi juga ada ritual yang dilakukan secara berkala di sana. Ritual itu bertujuan buat menjaga portal dunia lain tetap tertutup.”
Cindy melanjutkan, “Dan kayaknya, portal itu udah mulai terbuka lagi. Makhluk yang kalian hadapi semalam mungkin cuma awal dari sesuatu yang lebih besar.”
Gracia menatap Shani dengan khawatir. “Jadi, apa yang harus kita lakuin sekarang?”
Shani tampak berpikir sejenak, lalu berkata, “Kita harus siap. Kalau portal itu beneran terbuka, kita harus pastikan gak ada yang keluar dari sana. Tapi kita gak bisa buru-buru masuk tanpa persiapan.”
“Berarti, kita butuh rencana matang,” tambah Jinan sambil menyilangkan tangan di dada. “Ini bisa jadi lebih berbahaya dari yang kita kira.”
Gracia menarik napas dalam-dalam. Dunia yang tadinya terasa begitu biasa, kini telah berubah menjadi tempat penuh misteri dan ancaman. Tapi dengan Crimson Reign di sisinya, dia merasa lebih siap dari sebelumnya.
“Gue siap buat apapun yang datang,” ujar Gracia dengan tekad.
Shani mengangguk, senang melihat semangat itu. “Kalau gitu, kita lanjutkan latihan dan persiapan. Masih banyak yang harus kita pelajari sebelum kita hadapi portal itu.”
Dengan semangat baru, mereka semua kembali fokus. Mereka tahu, perjalanan ini masih panjang, tapi bersama-sama, mereka siap menghadapi apapun yang menanti di depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Angkasa's Reign
Misteri / ThrillerSemua berawal biasa-biasa aja. Gracia hanya sekedar mahasiswi baru, sama seperti ribuan mahasiswa lainnya, yang datang dengan harapan dan mimpi. Tapi ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang perlahan mulai terungkap. Dan semuanya berubah sejak dia ber...