6

1.4K 166 1
                                        

Setiap harinya selama seminggu terakhir ini Danu terus datang ke rumahku untuk bertemu dengan Anya. Mereka cepat sekali akrab satu sama lain, tak butuh waktu lama bagi Anya untuk bisa dengan mudah menerima kehadiran Danu dihidupnya.

Keterikatan dan hubungan antara ayah dan anak diantara mereka sangat kuat, aku menyadari bahwa tak ada gunanya menjauhkan Anya dari Danu.

Anya bahkan bisa menerima penjelasan dari Danu mengenai ia yang tak akan bekerja jauh dari putrinya itu lagi, Anya tak banyak bertanya seperti biasanya, gadisku itu malah terlihat sangat gembira saat mendengar penjelasan Danu.

"Jadi Papa nggak kerja keluar angkasa lagi?" Tanya Anya dengan polosnya kala itu.

Anya dan Danu tengah berada di ruang keluarga, sementara aku memilih duduk di meja makan dengan laptop yang menyala, pura-pura sibuk mengerjakan sesuatu padahal aku tak tau harus mengerjakan apa selain menguping pembicaraan keduanya.

"Sebenarnya Papa tidak kerja di luar angkasa, sayang. Tapi memang kemarin Papa kerjanya jauh dari Anya." Terang Danu coba menjelaskan.

"Tapi kata Mama, Papa kerjanya dekat planet merah itu."

Aku mendengar Danu terkekeh pelan.

"Papa lupa kasih tau Mama kalau Papa nggak kerja disana, sayang. Papa kerjanya ngajar, ditempat orang-orang yang mau belajar." Danu terdengar sangat berusaha untuk meyakinkan Anya. Hebatnya dia kali ini tak menyalahkanku yang memberikan informasi palsu pada anaknya itu.

"Jadi Papa ngajar? Guru ya Pa? Anya kata Mama bentar lagi sekolah. Anya bisa diajar Papa disekolah?"

"Nanti kalau Anya sekolah, Anya diajarnya sama Bu guru, bukan sama Papa. Tapi, nanti Papa bakal bantuin dan nemanin Anya belajar."

Percakapan antara Ayah dan anak itu terus berlangsung, aku hanya mendengarkan dan kembali berpura-pura sibuk dengan kegiatanku.

Selama kedatangan Danu ke rumahku, tak banyak interaksi diantara kami berdua. Bahkan terkadang aku memilih untuk berdiam diri di kamar dan meminta Mbak Tin yang mengawasi dan menemani Anya saat Danu datang bertamu.

Seminggu berlalu, namun Danu tak kunjung berpamitan untuk kembali ke Jakarta atau kembali pada pekerjaan dan hidupnya sendiri. Ia terus datang menemui Anya, hingga membuatku bertanya-tanya dalam hati, apakah ia tak punya kesibukan lain selain mengunjungi Anya? Tidakkah dia punya kehidupan yang harus dijalankan?

"Kamu nggak ada niat buat balik ke Jakarta Dan?" Tanyaku akhirnya pada pria itu, setelah berhasil menurunkan egoku yang sebenarnya selalu ingin mengabaikan kehadirannya. Dan jujur aku juga sedikit penasaran kenapa ia tak kunjung pergi.

Pria yang tengah duduk bersila di lantai sembari menemani Anya menggambar itu menaikkan pandangannya untuk menatapku.

"Nggak." Jawabnya singkat. Lalu kembali fokus pada Anya yang masih sibuk dengan gambarnya.

"Nggak punya kerjaan kamu? Udah jadi pengangguran?" Tanyaku sembari melipat kedua tanganku didepan dada.

Aku memang sudah memberikan izin pada Danu untuk menemui Anya. Aku juga sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan menutup akses bagi pria itu untuk berhubungan dengan putrinya. Namun kehadirannya selama berhari-hari di rumahku jelas sedikit mengganggu. Ku pikir dia hanya akan berkunjung sesekali saat ia libur atau sedang tak sibuk dengan pekerjaannya, bukannya datang setiap hari seperti saat ini.

"Aku ambil cuti." Ujar pria itu. "Papa tinggal sebentar ya sayang, nanti Papa nilai gambar Anya. Buat yang bagus ya Nak." Pesannya pada Anya sebelum beranjak berdiri.

Keningku sedikit berkerut saat melihatnya berjalan menghampiriku. Ku silangkan kedua tanganku di depan dada, sebagai bentuk pertahananku. Walaupun sebenarnya tak berguna sama sekali.

"Aku mau berhenti, Kar. Menurut kamu gimana?" Tanyanya padaku.

Sebuah pertanyaan yang membuatku bingung, sekaligus heran.

"Ya terserah, kenapa nanya pendapatku?" Aku bertanya balik padanya.

"Aku mau cari kerja di Solo. Mau coba ngelamar di salah satu kampus di sini. Biat nggak jauh-jauh lagi sama Anya. Doain ya Kar, semoga aku bisa dapat kerja disini."

Aku tertawa mendengar ucapannya barusan.

"Aku doain kamu nggak dapat kerja disini, ditolak seluruh kampus yang ada di Solo." Aku bicara blak-blakan padanya.

Aku tidak pernah berharap dan berpikir ia akan tinggal di satu kota yang sama denganku dan Anya.

Danu lebih baik tinggal di Jakarta saja, dan berkunjung sesekali kesini. Aku jelas tak ingin melihat ia setiap hari datang ke rumahku. Ide mengenai Danu yang akan menetap di kota ini jelas membuat perasaanku tak enak.

Jelas hal tersebut adalah mimpi buruk bagiku.

Bukannya tersinggung dengan ucapanku, Danu malah tertawa kecil. Dan dengan kurang ajarnya pria itu semakin mendekat kearahku, hingga kami hanya berjarak beberapa jengkal saja. Apa yang dilakukannya kemudian semakin membuat perutku mual, saat ptia itu mengangkat satu tangannya untuk mengelus rambutku.

"Jangan sentuh aku." Aku memperingatkannya dengan tegas.

Senyumnya semakin lebar saat mendengar bentakanku.

"Maaf Kar," ujarnya slmasih dengan cengiran lebar. Aku semakin jengkel melihatnya. "Tapi aku beneran serius mau cari kerja disini Kar. Aku nggak mau jauh-jauh lagi dari Anya dan kamu."

Hah? Apa katanya barusan? Apa aku tak salah dengar? Dia tidak mau jauh dariku dan Anya?! Danu benar-benar terdengar tak masuk akal. Aku yakin ada yang salah dengan otaknya!

****

Terjebak di Rumah Mertua 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang